Setiap pemerintahan tentu memiliki model birokrasinya tersendiri. Tergantung visi-misi yang ingin dicapai. Beragam efisiensi-pun dilakukan. Salah satunya adalah pembatasan Perjalanan Dinas Luar Negeri (PDLN). Bagaimana dampak kebijakan tersebut?
Kompasianer pasti sudah mahfum tentang perilaku penyelenggara negara. Patologi birokrasi. Tahun 2022, Sigi Penilaian Integritas (SPI) KPK mencatat 57,8 persen ASN menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi (Kompas.id, 2023).
Sayangnya, angka SPI tidak bergerak kemana-mana. Setiap tahunnya tidak banyak mengalami perubahan.
Metodologinya sangat sahih. SPI melibatkan 639 kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Total 553.321 responden. Mengombinasikan teknik online dan computer assisted personal interview (CAPI). WhatsApp blast dan email blast terhadap responden terpilih dan CAPI di 131 pemda (Tempo.co, 2024).
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa risiko perilaku koruptif penyelenggara negara semakin tinggi.
Pembatasan PDLN ini termaktub dalam Surat Edaran Menteri Sekretaris Negara Nomor B-32/M/S/LN.00/12/2024 tentang Kebijakan Izin Dinas Luar Negeri.
Setidaknya ada 14 jenis kegiatan PDLN. Diantaranya adalah Kunjungan Presiden/Wapres; Menteri dan Pimpinan Lembaga; Kurir Diplomatik dan Tenaga Ahli; Misi Kemanusiaan; dan sebagainya.
Estimasi Penghematan Anggaran
Pembatasan PDLN, kebijakan ini dikeluarkan sebagai respons terhadap kebutuhan untuk mengendalikan pengeluaran negara dalam konteks perjalanan dinas luar negeri.
Dengan adanya surat edaran ini, setiap perjalanan dinas luar negeri harus mendapatkan izin dari Presiden, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah perjalanan yang tidak perlu dan meningkatkan akuntabilitas penggunaan anggaran.