Indonesia di Peta Otomotif Global (1)
Dibanding negara lain, ratio kepemilikan mobil di Indonesia tergolong masih rendah. Kemampuan kelas ekonomi masyarakat terbesar baru bisa menjangkau sepeda motor. Maka jalanan pun disemuti kendaraan roda dua. Ini mungkin termasuk salah satu fenomena khas negara berkembang, khususnya di Asia.
sumber gambar: www.photographyindoesia.wordpress.com
Menurut data OICA, ratio kepemilikan mobil di Indonesia tahun 2013 baru mencapai 77 unit mobil per 1.000 penduduk ---separuh rata-rata dunia yang 174. Di kawasan ASEAN saja Indonesia berada di posisi kelima, berselisih jauh dari peringkat empat Singapura (153) atau Thailand (208) apalagi dibandingkan negeri jiran Malaysia (397) dan Brunei (409).
Motorization rate tertinggi di dunia adalah Amerika Serikat yang mencapai 790 mobil per 1.000 penduduk --sepuluh kali lipat Indonesia. Jika secara rata-rata satu keluarga beranggotakan 4 orang (dua anak), setiap keluarga Amerika memiliki tiga unit mobil. Di Indonesia kebalikannya, rata-rata satu mobil per tiga keluarga.
Di umumnya negara mapan, mobil sudah merupakan perlengkapan standar --bukan tergolong barang mewah-- untuk mobilitas individual setidaknya keluarga. Baik itu untuk penggunaan keseharian, urusan bisnis, pergi kuliah, keperluan darurat, bersosialisasi, berbelanja, rekreatif, atau pun sekedar lifestyle.
Tingkat Kepemilikan Mobil di Beberapa Negara
Di Singapura, meski pendapatan per kapita sudah sangat tinggi, bahkan di atas rata-rata Amerika, tingkat kepemilikan mobil sepertinya akan tetap di kisaran 150 per 1.000 penduduk. Pemerintah setempat sejak lama memberlakukan kuota penjualan mobil agar jumlahnya tidak melampaui daya dukung infrastruktur dan lingkungan. Dengan luasan geografis yang kecil, negeri pulau itu nyaris tidak memungkinkan lagi melakukan penambahan panjang jalan.
Di Singapura kuota penjualan dikaitkan dengan jumlah mobil yang di-scrap atau dipensiunkan. Biaya kepemilikan mobil juga dibebani pajak sangat tinggi. Penerapan manajemen lalu lintas berjalan efektif. Di sisi lain pemerintah menyediakan layanan transportasi public (MRT) yang nyaman dan dalam jumlah yang mencukupi.
Infrastruktur Sebagai Bottle Neck
Sejauh ini pembangunan jalan-jalan baru di Indonesia masih juga tersendat-sendat. Atau malah masih berkutat di wacana dan perencanaan. Begitu juga dengan penyediaan transportasi publik (MRT). Manajemen lalu lintas di Ibukota seperti ‘three in one’ nyaris tidak efektif. Sementara rencana penerapan ERP tidak juga ada kejelasan. Kesemrawutan lalu lintas menjadi bagian keseharian beraktifitas.
Sumber foto: www.lolosianipar.wordpress.com
Di Indonesia penduduk dan kendaraan terlanjur terkonsentrasi di Jawa bagian barat, terutama di kawasan Jabodetabek. Akibatnya arus lalu lintas di sini rentan mengalami kongesti parah. Lain lagi yang terjadi di musim lebaran. Terjadi pergerakan kolosal berbagai jenis kendaraan dari kawasan Jabodetabek ke berbagai arah mata angin. Bisa jadi ini merupakan fenomena khas Indonesia lainnya. Kemacetan meluas. Perjalanan sangat menguras energi, waktu, dan biaya.
Secara umum, kondisi infrastruktur masih menjadi bottle neck bagi perekonomi Indonesia. Di negara yang tergolong sudah mapan, kepemilikan mobil yang tinggi terakomodasi oleh kapasitas infrastruktur jalan raya yang berkualitas dan meluas. Penyebaran penduduk (berarti juga penyebaran kendaraan pribadi) relatif merata, tidak menumpuk di satu area.
Suka atau tidak, jumlah mobil di Indonesia akan terus bertambah. Faktanya, setiap tahun, setiap bulan, setiap hari ada saja masyarakat yang mulai berkemampuan untuk membeli mobil. Merujuk data Gaikindo, dalam lima tahun terakhir (2010-2014) jumlah mobil yang dibeli pasar domestic rata-rata di kisaran 1 juta unit per tahun.
#
(Grafik-grafik koleksi pribadi)
Tags:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H