Entah ini termasuk artikel keberapa yang membahas tentang kedua kompetisi di mana keduanya juga mengaku sebagai kompetisi “teratas” di negeri ini, sudah banyak tulisan menjelaskan kebaikan dan keburukan keduanya karena memang topik ini selalu menarik untuk dibahas karena masalah antara PSSI dan KPSI sendiri juga terus berjalan bahkan telah mengalahkan panjangnya perjalanan seseorang menyusuri tembok besar cina yang telah sampai ujungnya.
Sekarang pertarungan berlanjut memasuki babak baru dengan kemunculan Joint Committee bermaksud menyatukan dua kompetisi ini namun ternyata dalam pelaksanaannya tidak semudah itu, masing-masing pihak tetap mempertahankan pendiriannya bahwa kompetisinya lebih layak dan lebih baik untuk terus dijalankan.
Masalah berkepanjangan ini jelas sangat merugikan persepakbolaan Indonesia, dengan kondisi serba tidak jelas prestasi timnas kita terus merosot meski di sisi lain kita telah banyak mendatangkan pemain dan tim luar negeri untuk bermain di sini dan masyarakat pun telah terlena dengan hal tersebut sehingga mereka lebih tertarik membicarakan tim luar negeri mana lagi yang akan datang dan bertanding daripada bagaimana mencari solusi untuk menyelesaikan masalah antara PSSI dan KPSI, padahal kontrol dari masyarakat masih penting agar kinerja PSSI tetap pada jalurnya tidak ada penyelewengan kekuasaan lagi.
Karena masalahnya sudah terlanjur terlalu rumit dan susah untuk diselesaikan, sebenarnya mudah saja untuk mencari jalan keluarnya lebih baik bubarkan saja ISL dan IPL daripada keduanya terus dijadikan alat kekuasaan politik, saya sudah muak melihat keadaan ini berlanjut tanpa pernah ada penyelesaiannya. Turut berperan juga kegagalan Menpora untuk mengurusi bidang yang seharusnya dia awasi, mungkin beliau lebih sibuk menutupi kasus-kasus korupsinya sehingga lupa mengurusi apa yang sudah menjadi tugasnya. Saya mengetahui jika “government” turut mencampuri urusan ini maka Indonesia akan terkena sanksi dari FIFA tetapi saat ini mungkin itu adalah jalan terbaik ibaratnya PSSI ini akan di “reset” dari awal dan memulai dari nol lagi kemudian memilih orang-orang profesional sebagai pengurus PSSI dan mengerti betul bagaimana mengurus organisasi sepak bola sekaligus tahan tekanan dari orang-orang yang mempunyai keinginan terselubung di PSSI, tidak diisi para PNS dan pengurus parpol lagi seperti sekarang karena hanya akan dijadikan sebagai lahan objekan untuk mencari duit tambahan serta untuk kepentingan parpolnya sendiri. olahraga basket Indonesia misalnya sempat “mati suri” beberapa tahun dan kesusahan untuk sekadar menjalankan kompetisi sekarang telah bangkit dan berada di jalan yang benar untuk meraih prestasi lebih tinggi karena pengurusnya profesional dan mencintai betul pekerjaannya.
Jika cara pertama di atas tidak berhasil di jalankan maka cara yang lebih efektif lagi yaitu pemainnya saja mogok untuk bermain selama kondisi organisasinya dan liganya masih tidak jelas seperti ini, jika tidak ada yang ingin bermain maka kompetisi akan mati dengan sendirinya, karena memilih untuk tetap bermain mereka juga akan tetap dirugikan dengan masalah pembayaran gaji oleh klub masing-masing kebanyakan telat tiap bulannya, kalah tepat waktu oleh datangnya pms setiap perempuan yang datangnya bisa ditentukan tiap bulan, bahkan sempat terdengar kabar ada pemain suatu klub sampai mengemis! Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebabkan gajinya tidak dibayar selama 6 bulan, Tragis!. Sekarang kabar terbaru mengatakan hadiah juara Sriwijaya FC dan Semen Padang pun tak jua dibayarkan menambah kesuraman masa depan kompetisi keduanya, dan saat ini Nurdin Halid pun mungkin dapat tertawa seraya mengatakan “bagaimana, repot kan mengurusi sepak bola?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H