Miris rasanya jika melihat potret keadaan para pejalan kaki, terutama para pelajar di daerah pelosok Indonesia. Setiap hari mereka harus bertaruh nyawa dengan melewati jembatan-jembatan rusak yang sudah tidak layak untuk dilewati. Faktor utama kerusakan jembatan tersebut diakibatkan oleh faktor usia.
Sebagian besar jembatan di daerah pelosok menggunakan bahan kayu, sehingga besar kemungkinan kayu tersebut semakin lama semakin rapuh jika tidak segera diganti dengan kayu yang baru.
Tapi, jembatan yang berbahan lebih kuat, misal beton atau batu bata, juga tidak bisa terhindar dari kata kerusakan. Semua bergantung pada kepedulian pemerintah baik pusat maupun daerah untuk melakukan perbaikan jembatan-jembatan tersebut.
Menurut data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyatakan sekitar 40% jembatan di Indonesia dalam keadaan rusak dan sebagian besar berlokasi di daerah-daerah pelosok.
Jembatan rusak tersebut masih dikategorikan dalam keadaan rusak sedang sekitar 30%, dengan sisanya yaitu 10% dalam keadaan rusak berat Berdasarkan data tersebut, seharusnya pemerintah bisa melakukan pemetaan dan memberikan skala prioritas, jembatan mana yang harus diperbaiki.
Namun kenyataannya berbanding terbalik, bukan memperbaiki fasilitas-fasilitas bagi pejalan kaki yang rusak, tetapi pemerintah sekarang sibuk untuk memperbarui jembatan di kota-kota besar, baik dari segi tampilan maupun layanan.
Contohnya adalah upgrading pada jembatan penyeberangan orang (JPO) Senayan yang diubah tampilannya menjadi lebih futuristik dan kekinian serta bisa dijadikan spot foto selfie bagi warga Jakarta. Bahkan kabarnya jembatan ini dilengkapi dengan lift dan kamera pengawas.
Sebenarnya hal tersebut belum perlu untuk dilakukan, mengingat masih banyak jumlah jembatan di Indonesia yang masuk kategori rusak berat dan belum mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk segera diperbaiki.
Tidak perlu kita jauh-jauh melihat jembatan rusak di kota lain, karena akhir-akhir ini JPO Dewi Sartika di daerah Cawang menjadi bahan pembicaraan para netizen. Pasalnya kondisinya sangat memprihatinkan serta membahayakan bagi para pejalan kaki.
Pagarnya mulai banyak berlubang karena besinya berkarat serta dilengkapi dengan lilitan kabel-kabel listrik tanpa pelindung. Tangga jembatan ini tidak berujung ke trotoar, tapi terletak di tengah jalan akibat dari pelebaran jalan. Bagaimana pemerintah bisa memperbaiki jembatan-jembatan di kota-kota kecil, jika belum melakukan perbaikan terhadap jembatan di daerah ibukota?
Hal-hal seperti ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2009 pasal 131 yang mengatur tentang hak para pejalan kaki atas ketersediaan fasilitas pendukung, salah satunya jembatan penyeberangan. Pertanyaannya sekarang, mana yang harus didahulukan? memperbaiki jembatan yang rusak atau meng-upgrade jembatan yang masih layak pakai?