Di Kota Bogor ada keluarga pengusaha kopi yang bertahan memproduksi kopi bubuk tertua. Berdiri sudah 98 tahun. Dirintis sejak tahun 1925. Kedai kopi yang berdiri zaman kolonial Hindia Belanda.
Ada dua orang sedang "ngopi" saat aku masuk ke dalam kedai kopi di kawasan Empang, Bogor. Aku lebih suka menyebut kedai, untuk tempat ngopi. Seperti lazimnya sering kudengar, dulu saat bermukim di Batam.
Kedainya gak seberapa besar, Ada tiga meja kecil berbentuk bundar dengan masing-masing dilengkapi sepasang kursi. Kursi dan meja kayu berwarna coklat gelap. Warna kayu.
Teksturnya seperti kayu pilihan. Etalase kaca dan almari, bentuknya masih kuno. Lazim digunakan di toko-toko "jadul". Dulu kala. Mengingatkan almari di toko klontong ibuku, yang beroperasi rentang tahun 1980an.
"Teteh kopinya," kataku kepada dua wanita pramuniaga yang sedang bercakap-cakap.
" Sedang mati listrik. Konslet," jawabnya.
Itu artinya peralatan masak kopi elektrik gak bisa dipakai.
"Mau kopi tubruk aja? Kurebusin air," tawarnya.
Aku mengangguk. Aku duduk di salah satu kursi. Sambil menanti kopi, aku memperhatikan sekeliling. Ada mesin giling kopi dan alat memasaknya. Sementara harus "nganggur" karena sedang mati listrik.
Ada motor model gerobak yang dimodifikasi menjadi "motor kopi", alias motor untuk jualan kopi. Ini digunakan saat menjual kopi di pameran.