Siaran media elektronik, seperti televisi dan radio paling memungkinkan diakses dengan mudah di wilayah perbatasan negara. Siaran kedua media elektronik itu mampu menembus batas-batas wilayah kedaulatan masing-masing negara. Segala materi informasi "asing" dari beragam konten, saling "dinikmati" oleh warga perbatasan setempat.
Petang semakin karam. Malam menjelang di Pulau Kopak, sebuah pulau kecil di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Aku belum lelap. Ini malam pertamaku berkunjung ke pulau yang berdurasi sejam perjalanan laut dari Pulau Batam, naik "pompong".
Pompong, sebuah perahu kayu kecil ditempel mesin di buntut perahu. Biasa digunakan warga pulau-pulau sebagai sarana transportasi, disamping perahu dayung.
Malam itu aku masih di teras rumah khas nelayan milik Paman Acai. Rumah kayu di atas air pantai, yang sudah tua. Selepas mata memandang, gelap malam, langit dan kerlip bintang. Beberapa lampu bertenaga genset, redup di beberapa titik di luar rumah. Bersahitan terdengar harmoni suara hewan malam dan riak-riak air laut menerpa kayu penyangga pelantar, rumah serta deretan pohon bakau di bibir pantai. Masih teringat jelas momen-momen di pulau itu, meski sudah bertahun telah lewat.
Di ruang tengah, televisi menyala. Itu salah satu hiburan keluarga Paman Acai, selain radio. Radio menjadi pilihan saat siang hari. Sementara televisi, menjadi pilihan tontonan saat malam hari, selepas seharian menangkap ikan, ataupun beraktivitas lainnya.
Aku sesekali melihat siaran televisi itu. Sesekali saja, karena aku tidak paham. Tidak paham bahasa pengantar Mandarin yang digunakan dalam siaran itu. Maklum saja itu salah satu channel televisi dari stasiun TV tetangga. Singapura. Itu saluran pilihan yang dirasakan lebih nyaman untuk ditonton, karena terbatasnya siaran TV lokal maupun siaran TV nasional yang bisa ditangkap di rumah itu. Lagian kualitas gambarnya kurang bagus, buram, goyang, tak stabil, bahkan "menyemut".
Ada beberapa siaran televisi analog maupun radio dari Singapura dan Malaysia yang frekuensi jangkauan siarnya, menjangkau wilayah pulau ini. Sajian kualitas gambar dan audionya pun termasuk nyaman untuk ditonton.
Maklum saja, jarak pulau tak terlampau jauh dengan negeri seberang. Asal tahu saja, dari Pulau Batam kalau naik kapal ferry dari Pelabuhan Batam Centre, Batam misalnya, hanya sekira 45an menit saja. Dekat.
Sepengalamanku selama bermukim di Batam dulu, siaran radio dan televisi di tiga negara berbatas laut, Indonesia, Singapura dan Malaysia, memang menjadi konsumsi warga di wilayah Kepulauan Riau, seperti di Batam, Tenjung Pinang, Tanjung Balai Karimun dan pulau-pulau kecil di sekeliling pulau-pulau besar itu.
"Power" pemancar siaran analog yang 'kuat' memungkinkan siaran menembus sampai seberang lautan dengan mudah. Jika kekuatan pemancar lemah maka jangkauannya juga semakin dekat. Lagipula itu mempengaruhi kualitas siaran, kejernihan gambar, dan audio. Konon lembaga penyiaran kita khususnya di perbatasan memiliki pemancar yang tak sebanding dengan stasiun pemancar negeri seberang.
Dengan pemancar yang kuat, beragam materi siaran pun terakses dengan mudah. Mulai dari hiburan, lagu-lagu negeri seberang sampai dengan informasi ekonomi, sosial, budaya asing yang disiarkan media elektronik terkait. Padahal materi siaran dari media yang berfungsi bukan saja sebagai penyalur informasi, namun juga edukasi. Lalu bagaimana dengan edukasi soal kebangsaan, nasionalisme, jika yang ditonton adalah siaran televisi negara tetangga?
Itu pula tontonan televisi yang dikonsumsi Paman Acai dengan istri dan anak-anak usia sekolahnya. Setiap hari.