INVASI sampah plastik merambah ke mana-mana. Bukan saja menjadi sampah di sekitar lingkungan kita namun jauh, hingga mencemari lautan. Sampah plastik sudah sampai pada titik potensi ancaman kehidupan.
Bagai pisau bermata dua, plastik bermanfaat untuk menunjang kehidupan, namun di satu sisi kita harus mengendalikan dan bijak penggunaannya. Ada manfaat, ada bahaya.
Rutinitas keseharian kita itu, tak sedikit didukung oleh kontribusi bahan plastik. Plastik menjadi bagian yang hampir tak terpisahkan dari hidup kita. Sosok plastic ada di alat rumah tangga di rumah, sarana dapur, ruang tidur dan lainnya. Plastik sangat dibutuhkan. Ketergantungan hidup pada plastik sampai pada titik yang mengharuskan kita untuk 'diet plastik', demi mengurangi kontribusi sampah dari bahan plastik. Apalagi sampah plastik sulit diurai.
Namun plastik juga meresahkan dengan potensi ancaman yang menyertainya, saat plastik sudah menjadi sampah. Invasi sampah plastik di lingkungan bisa kemana saja termasuk termasuk lautan. Hewan, tumbuhan, manusia pun menjadi terancam.
Mengurangi ketergantungan penggunaan terhadap plastik, menjadi hal tak terhindarkan. Seperti halnya obesitas, diet plastik menjadi penting dilakukan demi mengurangi menggunungnya sampah plastik.
Ajakan dan gerakan diet plastik sudah sering digaungkan. Tak sedikit yang bergaya hidup sehat, dengan perilaku diet plastik. Jadi gaung itu tak boleh berhenti. Harus lebih disemburkan berulang-ulang.
Kita Sadar Bahaya Sampah Plastik, Tapi Kapan Kita Sadar Lingkungan?
Ingat peristiwa kematian ikan paus sperma yang terdampar di Pulau Kapota, Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada November tahun lalu, dan santer diberitakan media?
Ikan itu mati. Di dalam perutnya ditemukan sampah plastik sebanyak 5,9 kg! Penemuan 'aneh' itu mempertegas ancaman serius sampah plastik. Bahwa laut yang sedemikian jauhnya berjarak, plastik pun invasinya sampai kesana. Faktor manusia tak dipungkiri berperan di dalamnya.
Kasus serupa, banyak hewan laut makan plastik. Kok bisa? Laut tercemar. Mengutip dari instgaram @siapdarling yang mengkampanyekan gerakan sadar lingkungan itu, bahwa sampah plastik di laut sangat banyak sehingga hewan-hewan laut tak bisa membedakan yang mana makanan, yang mana plastik.