Lihat ke Halaman Asli

Rachmat PY

TERVERIFIKASI

Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

Merawat Kuliner Tradisional

Diperbarui: 1 Maret 2018   16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuliner Betawi. (Foto Bozzmadyang)

Seberapa banyak nama-nama kuliner tradisional yang dikenal? Seberapa banyak orang menyukai cita rasa kuliner tradisional? Bisa jadi banyak atau sebaliknya.

Kuliner tradisional adalah budaya. Budaya adalah sejarah. Sejarah itu sebuah peradaban. Merawat eksistensi kuliner tradisional adalah menjaga peradaban, mengenal sejarah budaya sendiri.

Deretan nama-nama kuliner tradisional nusantara telah banyak yang popular. Populer bukan hanya di dalam negeri bahkan menembus ke mancanegara.  

Sebut saja Gudeg Yogyakarta, Lunpia Semarang, Nasi Tumpeng, Nasi Liwet Solo, Laksa Bogor, Mie Aceh, Tahu Telur Surabaya, Tekwan, Soto Betawi, Sate Lilit Bali, Rendang Padang, Sate Ayam Madura, Sate Maranggi Purwakarta, Serabi Bandung, Ikan Papeda Papua, Bir Pletok Betawi, Kerak Telur Betawi dan masih banyak lagi.

Menu-menu tradisional yang dikenal luas di nusantara. Tak jarang menyebut kuliner tradisional itu dengan sebutan kuliner nusantara. Maknanya jelas, itu budaya kuliner bangsa Indonesia.

Nama-nama menu yang lekat dan beberapa masih bisa ditemui dengan mudah. Tentu saja karena ada yang menjadi bahan makanan pokok di daerah bersangkutan. Seperti gudeg yang masih menjadi konsumsi makanan daerah Yogyakarta. Nasi Liwet Solo, Sate Ayam Madura, Bubur Manado dan lainnya yang menjadi menu keseharian bahkan bukan hanya di daerah asal menu kuliner itu, tapi meluas ke daerah lainnya.

Selain itu banyak yang menjadi komoditas bisnis dengan beragam merek namun sama dalam menu olahan nangka sedemikian rupa mengangkat nama Gudeg Yogyakarta. Begitu pula yang terjadi pada menu Sate lilit Bali, Tahu Telur Surabaya, Mie Aceh, Nasi Liwet Solo dan lainnya. 

Kalau kuliner di daerahku Wonogiri yaa nasi tiwul, pindang dan Cabuk. Sudah pernah kutulis dimare "Tiwul dan Gatot Instan, Olahan Kreatif Kuliner Tradisional."Tulisan tentang Pindang dimare "Pindang, Kuliner Tradisional yang Kian Langka." Ini tulisan tentang Cabuk Wonogiri "Merindu Cita Rasa Tibuk Wonogiren" dan ini "Yuk Mengenal Cita Rasa Unik ‘Cabuk’ Makanan Khas Wonogiri."

Pindang Wonogiri. (Foto Bozz Madyang)

Nasi Tiwul Wonogiri. (Foto Bozz Madyang)

Sebagai komoditas bisnis secara otomatis tumbuh dan terawat kelestariannya di tengah-tengah masyarakat. Itu menjadi penting untuk menjaga eksistensi kuliner tradisional tidak mati, punah. Menjadi garis turun temurun yang dikenal anak dan cucu. Bukankah kuliner itu budaya? Budaya yang terbentuk dan dibentuk leluhur sesuai adat istiadatnya?

Berkembang di era zaman yang terus bergulir. Kuliner tradisional bertahan dalam gempuran kuliner asing yang menyerbu pasar bisnis kuliner nusantara. Eksistensinya menjadi perlu dan penting. Tumbuhnya bisnis kuliner dengan mengusung kuliner nusantara menjadi salah satu sarana kuliner nusantara tetap eksis. Menjadi alternatif menu-menu yang dicipi siapa saja,  dari generasi apa saja. Termasuk generasi milenial, generasi Z dan generasi yang akan datang.

Mengikuti perkembangan zaman, maka kemasan bisnis kuliner menjadi salah satu kunci agar tetap dilirik pasar zaman now. Bagaimana sebuah bisnis kuliner bisa diterima masyarakat luas meski mengemas kuliner daerah yang tak jarang generasi muda memandang sebelah mata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline