Suaranya bergetar membacakan bait-bait puisi karyanya dari podium. Kata per kata terucap sangat jelas. Sesekali kedengaran parau dan tercekat, saat bait seperti bergemuruh di dadanya. Kyai itu berdiri di podium sedang membacakan puisinya. Dua puisi yang menjadi medium baginya dalam mengkomunikasikan situasi sosial saat bait-bait itu ditulis.
Mendengar dua puisi berjudul "Aku Tak Bisa Bernyanyi" dan "Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu" menuntun benak sejenak pada situasi negeri. Kebangsaan, keberagaman, toleransi dan keprihatinan. Siapa tak merinding saat nada 'Indonesia Pusaka' dalam puisi terdengar. Hening, lalu usap air mata disela tepuk tangan.
Di bangku barisan depan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kulihat mengusap air mata sejenak, usai Gus Mus menutup waktu kesempatannya. Menteri yang dikenal 'perkasa' itu seakan tenggelam dan larut tersentuh dalam suasana gemuruh nasionalisme yang dihadirkan puisi Gus Mus.
Tak tahu persis apakah hal yang sama dirasakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Ketua Yayasan Yap Thiam Hien Todung Mulya Lubis, Komisioner Komisi Yudisal Sukma Violetta dan tokoh-tokoh lainnya yang hadir di acara.
Gus Mus baca puisi itu momen istimewa. Semalam, Rabu 24 Januari 2018 di Perpustakaan Nasional, Jl. Medan Merdeka Selatan Jakarta Pusat, menjadi malamnya Gus Mus. Kyai, penyair, novelis, budayawan dan cendekiawan muslim itu dianugerahi penghargaan bidang hak asasi manusia, Yap Thiam Hien Award 2017.
KH A Mustofa Bisri alias Gus Mus 'menang mutlak' meraih penghargaan HAM, Yap Thiam Hien Award 2017. Gus Mus dinilai konsisten dalam menyuarakan toleransi beragama yang sejuk di tengah-tengah kondisi intoleran di tahun-tahun belakangan ini. Tak dipungkiri tokoh pemuka agama dan budayawan ini dikenal getol menyuarakan kondisi sosial masyarakat dalam karya-karya puisi dan pemikirannya yang merangkul semua umat beragama.
Zumrotin K Susilo, aktivis perempuan dan anak yang menjadi juru bicara dewan juri Yap Thiam Hien Award 2017, tak berlebihan menyatakan bahwa KH Ahmad Mustofa Bisri adalah sosok ulama yang memiliki keteguhan dalam membangun moralitas kemanusiaan di tengah bangsa yang beragam.
Zumrotin mewakili 4 juri lainnya, yakni Makarim Wibisono (diplomat senior), Siti Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP), Yoseph Stanley Adi Prasetyo (Ketua Dewan Pers), dan Todung Mulya Lubis (Ketua Yayasan Yap Thiam Hien).
Gus Mus dipandang berani menyuarakan HAM hingga soal politik yang bergejolak di tahun belakangan. Gus Mus berani mengungkapkan sikapnya menolak politisi agama, menolak masuknya agama dalam panggung politik serta menjadikan agama alat kampanye dan mendiskritkan pihak lain. Bagi Gus Mus masuknya agama dalam politik kampanye adalah sebuah langkah kemunduran.
Gus Mus adalah suara hati nurani bangsa. Gus Mus adalah suara hati nurani ulama, yang menghendaki Indonesia kembali ke jati diri yang menghargai kekayaan kemajemukan masyarakat, adat istiadat, bahasa, agama dan keyakinan politik.