MUDIK yang aku lakukan menempuh jarak 700an km dari Jakarta – Wonogiri, bukanlah jarak dekat. Bertahun-tahun jalur darat pantai utara/ pantura menjadi jalur ‘sibuk’ yang aku tempuh. Merasakan lalu lintas yang padat, macet dan rangkaian momen yang beragam di jalan raya. Tumpah ruah transportasi umum, kendaraan pribadi, hingga sepeda motor mengantre ke tujuan kota-kota Pulau Jawa jelang momen lebaran. Selalu, para perantau menjadi bagian signifikan dari agenda tahunan mudik yang diprediksi arus penumpang mudik pada musim mudik Lebaran 2017 ini akan mencapai kisaran 28,99 juta orang (Sumber: Tempo), dengan ragam moda transportasi.
Seiring dengan momen itu, persoalan tiap tahun beragam, mulai soal penataan lalu lintas, pengembangan jalur, hingga soal moda transportasi. Pemerintah hadir dengan beragam program mudik untuk satu tujuan, agar warga dapat mudik dengan lebih aman, selamat sampai tujuan. Sementara para pemudik, didorong bijak dalam menentukan pilihan moda transportasi, pilihan waktu mudik, dan persiapan-persiapan yang harus dilakukan.
Pilihan Transportasi Mudik
Apa yang dicari perantau di kota-kota besar, seperti Jakarta? Tak dipungkiri salah satunya adalah faktor ekonomi menjadi alasannya. Mencari penghasilan, mengadu peruntungan. Dan di Pulau Jawa, menempati jumlah perantau yang cukup besar. Termasuk aku dari Wonogiri, Jawa Tengah. Maka mudik menjadi ‘ritual’ yang selalu ada di saat jelang lebaran. Mudik menjadi momen penting bagi perantau. Dan transportasi menjadi sarana penting saat mudik.
Tak sedikit yang memilih moda transportasi darat, di samping laut dan udara. Pertimbangan ekonomis dan wilayah yang hanya bisa ditempuh via darat, menjadikan pilihan membawa kendaraan pribadi, mobil atau pun sepeda motor. Aku sendiri pernah menjadikan bus malam sebagai sarana transportasi mudik. Secara banyak bus tersedia Jakarta – Wonogiri dan dulu hitungan ekonomisnya paling murah dibanding moda transportasi lainnya. Maklum saja Wonogiri ‘gudangnya’ pengusaha bus antar provinsi.
Lalu sejak 2011, mudik aku lakukan dengan membawa mobil pribadi. Pertimbangannya, mobil bisa dipergunakan untuk sarana silaturahmi di kampung. Sekaligus plesiran alias piknik bersama keluarga besar. Kecuali itu membawa mobil sendiri, lebih hemat dari segi biaya. Soalnya satu mobil bisa mengangkut banyak barang dan orang dengan biaya BBM yang sama. Logis bukan?
Pertimbangan yang sama juga dilakukan oleh perantau yang mudik dengan sarana sepeda motor. Lebih ekonomis, dan menjadi sarana transportasi di kampung selama beberapa waktu. Bagaimana soal kenyamanan dalam menempuh jarak ratusan kilometer? Nampaknya menjadi pertimbangan nomor sekian.
Pemudik Roda Dua yang Rawan Terlibat Kecelakaan
Salah satu kisah pemudik sepeda motor, dulu dilakukan oleh tetangga rumah di Wonogiri. Bagong, adalah panggilan akrab suami tetanggaku di kampungku Wonogiri. Tepatnya dia menikah dengan perempuan tetangga dekat rumah orangtuaku di kampung. Dia seorang perantau di Ibukota. Bagong, perantau yang berwiraswasta berjualan bakso di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur. Dan sebagai perantau, pria asli Boyolali, Jawa Tengah itu selalu mudik ke rumah orangtuanya dan mertua. Beberapa tahun lalu, ia sering mudik dengan mengendarai sepeda motor. Membawa istri dan seorang anaknya yang bahkan masih usia Taman Kanak-kanak!
Bergidik. Itu yang aku selalu rasakan saat berbincang dengannya di masa lebaran. Saat mendengar cerita tentang mudik berkendara sepeda motor dengan membonceng anak dan istrinya. Belum lagi tas bawaan yang melebihi ukuran standar. Tak terbayang di benakku, jarak jauh naik motor!
Bagong tidak sendiri. Entah berapa banyak pemudik tiap tahun yang membawa sepeda motor. Yang jelas selalu mengalami peningkatan. Alasan klasik, nilai ekonomis dan bisa menjadi transportasi di kampung, menjadi pertimbangannya. Demi itu, barisan pemudik sepeda motor rela melawan maut di jalanan pantura yang padat. Seiring dengan itu kabar naas kecelakaan yang menimpa pemudik sepeda motor selalu menghiasi media. Kapokkah pemudik sepeda motor?