Lihat ke Halaman Asli

Rachmat PY

TERVERIFIKASI

Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

Kebhinekaan Itu Kekuatan Bukan Ancaman

Diperbarui: 16 Agustus 2016   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Sumber http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/anak-anak-membawa-bendera-merah-putih-di-desa-pesisir-pulau-_150817072511-484.jpg

Merdeka…merdekaaa!

Pekik ini mengiang di telinga siapa saja seiring bulan Agustus tiba. Yaaa Hari kemerdekaan yang telah 71 tahun dirayakan, direnungi, disedihkan, digembirakan dan banyak lagi maknanya yang dipersepsikan beragam banyak orang. Termasuk saya pribadi. Dan itu sah-sah saja, bahkan anak-anak bangsa ‘merdeka’ menghayatinya dengan dunia bermainnya. Bermain lomba tujuhbelasan yang menjadi ritual melekat setiap bulan 8. Dan bagiku itu adalah penghormatan pada diri bangsa sendiri.

Ada satu kata yang melekat dalam kemerdekaan. Kemerdekaan berujung pada kebebasan, kekangan dan lalu bebas memilih dan menentukan. Kemerdekaan sebagai sebuah bangsa bernusa, beragam suku dan adat budaya yang menyatu dalam kata rumah Indonesia. Dan modal keberagaman identitas, kebhinekaan identitas itu tak dapat dipungkiri adalah unsur yang membangun negeri dalam satu semangat mendirikan Negara Indonesia. Sooo, itu yang membuat individu memiliki teman, tetangga, sebangsa yang berbeda atas dasar eksistensi kemerdekaan. “Pelangi itu indah, karena berwarna warni,” kata orang.

Kristanto seorang teman di kampong dulu, berkeyakinan berbeda denganku yang menjadi sahabat karibku sejak kecil hingga dewasa. Sebangku sejak usia sekolah di SD, SMP hingga SMA. Tak menjadi masalah. Dan memang kami tak pernah mempermasalahkan. Itu cerita sederhana saja. Lalu cerita-cerita mengalir ditengah perjalanan Agustus ke Agustus, dari usia kemerdekaan yang semakin menua. Apa yang terjadi?

Kebhinekaan dilumuri dengan momen-momen intoleransi. Adat timur yang ramah dan santun menjaga toleransi antar adat suku, agama, antar ras, antar golongan beriak-riak kecil lalu membesar. Kasus bukan hanya terkait ‘perbedaan pandangan’, namun kasus sarat muatan agama, suku mewarnai sedemikian maraknya.

Bagaimana isu-isu SARA menjadi ‘bensin’ yang mudah membakar. Atau kasus-kasus terkait rumah ibadah. Dulu kasus Ambon, kasus gereja di Bogor, kasus pembakaran vihara di Tanjung Balai Karimun, dan sederetan gerbong kasus lainnya yang menciderai makna ‘toleransi’ dan lebih dalam lagi terkait hak warga negara di negara bhinneka ini. Minoritas ditindas oleh angka numeric mereka yg menjadi mayoritas, atas dasar SARA.  Toleransi yang menjadi ‘nyawa’ atas kebebasan individu yang bertanggungjawab, semakin ‘terancam maut.’ Dimana hak-hak sebagai warganegara jelas-jelas dilindungi UUD 45, belumlah nampak terimplementasikan dalam bentuk kehidupan sehari-hari secara luas. Kebhinnekaa disikapi sebagai ancaman.

Isnur dari LBH Jakarta saat di acara Gema Bhinneka Merdeka, Kamis (11/6/2016). (Foto Ganendra)

Kawan Isnur dari LBH Jakarta, sharing informasi bagaimana dalam 3-4 tahun terakhir ini,mencatat banyak kasus intoleransi yang mencuat yang mencerminkan fakta adanya kebebasan yang makin sempit, terkekang.

“Banyak isi diskusi sudah ada ijinnya lengkap dibubarkan bukan oleh preman lagi, tapi  aparat,” katanya saat acara Gema Bhinneka Merdeka, di kawasan Kemang, Jakarta, Kamis (11/8/2016).

Hal yang mengkhawatirkan lagi, pendamping hukun dari LBH juga menjadi target ancaman. Bahkan berujung ke pidana. Sebuah fragmen kemunduran toleransi ke jaman orde baru. Dan semestinya hal itu tidak didiamkan saja. Berani menyuarakan, karena jika diam saja, maka makin luar biasa.  

Toleransi terkait dengan keberagaman. Intoleransi timbul dari harga menghargai. Identitas negeri yang beragam tak dapat dipungkiri. Negara yang dibangun dari darah-darah pendahulu dari ujung barat sampai timur. Membawa identitas budaya yang beragam, maka kebhinnekaan adalah fakta yang melahirkan negeri kepulauan ini.

Bagi Rocky Gerung, seorang dosen Filsafat di fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, soal budaya, kebudayaan, saat ini tak melihat situasi budaya hadir, baik dalam soal politik, ekonomi. Seluruh wilayah telah diisi bukan oleh kebudayaan namun oleh kekuasaan. Pandangan yang berdasar bahwa banyak mereka yang masuk lingkaran kekuasaan ‘berpaspor’ HAM, berkumpul dengan para pelanggar HAM. Ini ironis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline