[caption id="attachment_354137" align="aligncenter" width="600" caption="One Room saat di acara Kompasiana Ngulik di Studio Kampasiana. (Ganendra)"][/caption]
Perkembangan musik di tanah air boleh dikatakan cukup menjanjikan. Tumbuh kembang talenta-talenta muda di bidang musik seakan tak pernah mati. Fenomenanya bahkan merambah sampai mancanegara, khususnya Asia. Jaman dahulu, saya ingat betul di masa teknologi belum seperti saat ini, perjuangan menapak garis sukses di bidang musik membutuhkan perjuangan keras dan panjang. Jawara-jawara musik banyak bermunculan melalui ajang festival. Khusus di jalur rock siapa sih yang tak ingat ajang musik bergengsi yang digelar medio tahun 1984 - 2004?
Ya, ajang Festival Rock Se-Indonesia yang digelar rutin Log Zhelebour sangat terkemuka masa itu. Band-band Kaisar dari Solo, Andromeda, Grass Rock, Power Metal, Boomerang adalah nama-nama yang pernah berjaya di ajang itu. Panggung membesarkan nama-nama mereka ke kancah musik tanah air. Lagu-lagu mereka diminati dan disukai oleh pendengar di tanah air. Praktis musik menjadi ajang bisnis yang cukup menjanjikan seiring penerimaan pasar yang melonjak.
Lalu bagaimana dengan band-band bertalenta jaman sekarang. Di era teknologi audio visual yang makin canggih dan era social media yang menjadi denyut nadi kehidupan sosialistik baru. Nilai positifnya tentu bisa menjadi pendukung dalam ‘mengantarkan' karya cipta lagu ke para pendengarnya. Namun di sisi lain ada hal yang menjadi ‘pekerjaan rumah' bagi para pemusik, terkait idealisme dalam berkarya dengan tuntutan pasar. Tentu bukan hal yang mudah untuk band-band dalam mengkombinasikan ide dan selera komersil sebuah karya. Di satu sisi band-band itu ingin bertahan tetap eksis di hati para pendengarnya. Disini factor kuatnya strategi komersialisasi produk band bersangkutan menjadi sangat vital. Kemasan, cara mengolah strategi promosi lagu menjadi keharusan yang silakukan agar tak ditinggalkan para telinga pendengar. Banyak pertanyaan yang akhirnya menjadi signifikan untuk dibuka kran solusinya oleh band-band itu sendiri.
Seperti apa dampaknya bagi komersialisasi lagu para penyanyi maupun band? Sejauh mana labels jeli memanfaatkannya teknologi komunikasi dalam komersialisasi lagu band yang dinaunginya? Bagaimana cara band mensiasati penciptaan karya lagu yang bisa diterima pasar komersil? Lalu apa sih parameter sukses bagi pemusik, terjual laris albumnya ataukah ada unsur lain?
[caption id="attachment_354140" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana acara Kompasiana Ngulik bertema Ngobrolin Komersialisasi bareng ONE ROOM. (Ganendra)"]
[/caption]
Ngobrolin Komersialisasi bareng ONE ROOM
Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu terungkap dalam acara Kompasiana Ngulik bertema Ngobrolin Komersialisasi bareng ONE ROOM pada Jumat 27 Februari 2015 di Ruang Studio Kompasiana, Lt. 6 Kantor Kompas Gramedia Palmerah Barat, Jakarta. Acara menghadirkan band talenta One Room yang datang dengan personil lengkap.
Band asal Pondok Gede, Jakarta Timur ini digawangi oleh Aden (gitar), Ulil (vokal), Leo (bass), Reza (gitar) dan Firdaus (drum). Dihadirkan juga perwakilan dari Seven Music, Mas Angga. Sebagai moderator dipegang oleh Nadya Fatira yang jago bermusik. Dengan gaya lugas Nadya membongkar rahasia-rahasia bermusik One Room dan juga Mas Angga untuk berbagi lebih banyak soal komersialisasi musik, khususnya One Room.
[caption id="attachment_354139" align="aligncenter" width="600" caption="Dari kiri ke kanan. Nadya (baju putih), Mas Angga dari Seven Music, Firdaus (drum), Aden (gitar), Ulil (vokal), Leo (bass), dan Reza (gitar) "]
[/caption]
Idealisme atau Komersialisasi?