di tanah-tanah lapuk, engkau berdiri bertumpuan kaki-kaki matahari
peluhmu kering di ribuan laku yang meruntuhkan tulang-tulang berkeringat
mengendap dalam selongsong waktu yang kian tajam menagih janji
hingga hitungan senja mengingatkanmu pada kesempatan yang kian berkarat
hari ini engkau bernyanyi tentang malam yang binal
menawarkan gairah pada kerlingan mata-mata nakal
setelah hari kemarin berpeluh layu
tinggalkan jejak jelaga di lipatan catatan waktu
barangkali esok senandungmu tak akan berbeda
sementara putik kuntummu tak selalu segar ada
atau engkau akan salahkan malam yang datang?
atau berhujat pada angin-angin yang menusuk tulang?
kuntum-kuntum liar
engkau tak berpilih mekar
dan bersenandung tentang purnama yang kian tawar
yang tinggalkan rasa hati
dan pikiran yang terpendam sembunyi
entahlah,
engkau tumbuh berpeluk rahasia
untuk apa?
menyambung hawa?
ataukah engkau adalah nafas bertumbuh jelita?
dan bukan pemuja remang purnama
***
Wonogiri – 21 Juli 2015
@rahabganendra
Sumber Gambar Ilustrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H