Eco Enzyme adalah cairan hasil fermentasi bahan organik dari dapur berupa sisa sayuran atau kulit buah ditambah gula merah atau molase dan air bersih.
Dr. Rosukon Poompanvong pendiri Asosiasi Pertanian Organik di Thailand yang pertama kali melakukan penelitian tentang eco enzyme. Beliau melakukannya sejak 1980-an sebagai bentuk ketidaksetujuan pemakaian bahan kimia seperti pestisida pada tanaman di lingkungan tempat kerjanya.
Sebagai penderita penyakit blood disease, ia kemudian melakukan penelitian guna mencari alternatif menggunakan bahan organik yang difermentasikan.
Hasil fermentasinya pertama kali digunakan istilah garbage enzyme yang kemudian berubah menjadi eco enzyme. Inilah yang mengganti bahan kimia untuk pemupukan dan pemberantasan hama. Bahkan digunakan untuk makanan tambahan bagi hewan ternak yaitu babi dan ayam.
Setelah melalui serangkaian penelitian yang bertahun-tahun akhirnya beliau menemukan formula perbandingan eco enzyme yaitu 1: 3 : 10. Dengan rincian yaitu 1 bagian gula merah/molase: 3 bagian sisa sayuran atau buah-buahan:10 bagian air. Formula ini kemudian menjadi acuan para penggiat eco enzyme ketika melakukan sosialisasi.
Eco enzyme disebarluaskan oleh Dr. Joean Oon, seorang naturopathy dari Penang Malaysia ke seluruh dunia.
Awal mula eco enzyme berkembang di Indonesia adalah di Pulau Bali. Eco Enzyme Nusantara (EEN) kemudian menjadi salah satu penggiat sosialisasi eco enzyme di Indonesia.
Cara Pembuatan Eco Enzyme
Dengan menggunakan formula 1 : 3 : 10, maka kita siapkan gula merah atau molase.
Molase atau dalam bahasa Inggris molasses adalah produk dari industri pengolahan gula tebu atau gula bit yang masih mengandung gula dan asam organik. Warnanya hitam pekat dan kental. Masyarakat umumnya mengenal dengan tetes tebu. Molase mudah diperoleh apalagi melalui penjualan online. Molase lebih baik digunakan karena harganya lebih murah jika dibanding harga gula merah.