Pada dasarnya sebuah paradigma merupakan epistemologi yang menjadi persoalan dasar dalam ilmu sosialogi. Seperti yang dipelopori oleh Durkheim yaitu Paradigma adalah sesuatu yang menunjukkan fakta sosial sebagai pokok persoalan yang harus dipelajari dalam disiplin ilmu sosiologi.
Dengan paradigma akan memberikan sebuah dampak besar terhadap asumsi-asumsi dasar dan metode maupun hasil dalam berfikir, bersikap, dan bertingkah laku, sehingga menjadikan paradigma adalah dasar bentuk mekanisme seseorang dalam memandang terhadap sesuatu yang mempengaruhi dalam berpikir dan di implementasikan oleh sikap kemudian terbentuknya sebuah tingkah laku pada manusia.
Dalam buku Sociology as Culture: The New Sociology of Knowledge, menyebutkan bahwa sosiologi pengetahuan membawa kajian tentang determinan sosial terhadap gagasan-gagasan (ideas) menuju pengetahuan-pengetahuan (knowledge), terutama pengetahuan yang mengarahkan, dalam kehidupan sehari-hari, bahwa pengetahuan dan realitas sosial itu ada dalam sebuah proses relasi timbal balik atau dialektika dari konstitusi yang saling membentuk kemudian realitas dan pengetahuan berelasi timbal balik dan dihasilkan secara sosial.
Hal ini juga serupa dengan pemikiran Marx dan Engels bahwasanya pikiran dan kesadaran adalah hasil sebuah produk sosial atau all human knowledge is determined by productive activities of society.
Menurut Ahimsa (2009), definisi paradigma bagi para ilmuan sosiologi yakni, kerangka berpikir atau theoretical framework, kerangka konseptual atau conceptual framework, kerangka pemikiran atau frame of thinking, orientasi teoritis atau theoretical orientation, sudut pandang (perspective), atau pendekatan (appoarch).
Maka bisa tarik kesimpulan ialah pengertian paradigma itu sendiri merupakan sebuah hasil cara bagaimana memandang sesuatu berdasarkan kerangka pemikiran yang melalui dasar-dasar pengetahuan dan gagasan agar dalam pengaplikasiannya memiliki timbal balik seperti bersikap dan bertingkah laku di aspek sosial agar menghasilkan cara-cara berpikir manusia.
Sedangkan pemahaman mengenai ”berpikir” itupun adalah produk dari fungsinya akal budi untuk dapat mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu yang mengartikan setiap manusia akan menggunakan akal budinya untuk menimbulkan kegiatan yang disebut berpikir, secara pertimbangan maupun keputusan yang diambil. Kemudian makna aktivis juga dijelaskan dalam KBBI (kamus besar Bahasa Indonesia), yaitu seseorang yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan, atau disebut juga sebagai seseorang yang menggerakkan.
Jika kita hubungan antara ketiga pengertian, maka akan ditemukan keselarasan makna mengenai hubungan satu dengan yang lainnya sampai-sampai melahirkan sebuah arti paradigma berpikir dan membentuk aktivitas pendorong dalam mencapai pelaksanaan sesuatu dengan fundamental cara berpikir seseorang.
Jauh sebelum membentuk sikap yang gigih dalam menginspirasi dan terus mendorong akan suatu hal tercapai, proses dasarnya yaitu bagaimana cara seorang aktivis berpikir.
Pokok dari semuanya ada di bagian membentuk sebuah paradigma di dalam diri untuk melahirkan turunan-turunannya seperti metode berpikir, cara-cara bersikap, dan pembentukkan tingkah laku. Ada pepatah yang mengatakan, “Pemikiran mengubah tindakan, tindakan mengubah kebiasaan, kebiasaan mengubah karakter, lalu karakter mengubah kenyataan”. Maka, berdasarkan kalimat itu menjelaskan bahwasanya pemikiran adalah inti pokok untuk bisa mengubah kenyataan.