Lihat ke Halaman Asli

Ragil Triwinarsih

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung

Antara Green Energy dan Obsesi dalam Transisi Energi Berbasis PLTN

Diperbarui: 17 November 2024   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Transisi energi hingga kini semakin gencar dilakukan di berbagai negara. 

Hal ini dipengaruhi oleh situasi dalam beberapa dekade terakhir yang mengharuskan adanya tuntutan bagi negara di seluruh dunia agar tetap bisa survive sebagai respon dari permasalahan pemanasan global yang semakin meningkat sehingga perlahan menyebabkan perubahan iklim di berbagai negara dengan tujuan untuk memikirkan waktu dalam jangka panjang serta mengurangi ketergantungan terhadap emisi karbon yang selama ini diperoleh dari sumber bahan fosil seperti batu bara, minyak, gas, listrik, dan timah untuk mempertahankan aspek ekonomi dan lingkungan. 

Transisi energi dapat kita ibaratkan sebagai upaya untuk "memperpanjang umur bumi dan menunda kiamat" terjadi dengan membenahi penggunaan sumber energi fosil. Begitulah kiranya untuk mengawali tulisan ini.

Transisi energi merupakan proses yang kompleks yang tidak hanya melibatkan aspek teknis, tapi juga aspek regulasi (pemerintah Indonesia), keuangan, dan politik. Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang kaya bisa menjadi suatu anugerah yang dapat disyukuri tapi terkadang justru bisa juga menjadi sebuah kutukan. Transisi energi sebenarnya bukan hanya persoalan technical energy saja melainkan juga persoalan politik. 

Transisi energi di masa kini tidak bisa terlepas dari campur tangan pemerintah yang ikut mengambil peran dari beberapa aspek dalam pelaksanaan transisi energi, contohnya dalam hal regulasi dan keterlibatan kepentingan bisnis energi fosil. 

Istilah ini juga dapat disebut sebagai "political lock in", seperti halnya yang terjadi di Indonesia sebagaimana yang disampaikan oleh Mas Nanang Indra dalam seminar "Recarbonization through Decarbonization (How Extraction Deepens Fossil Fuel Dependence)." 

Dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." 

Namun, melihat kembali pada realita yang ada, bunyi dari UUD 1945 pasal 33 ayat (3) melahirkan gap bagi kita yang memahaminya. Sebenarnya, dikuasai negara yang seperti apa? untuk siapa? Apakah rakyat yang terdampak proyek transisi energi kehidupannya dapat terjamin makmur dan sejahtera?. 

Realitanya, proyek transisi energi masih harus mengorbankan dampak yang akan ditimbulkan seperti terjadinya marginalisasi, degradasi lingkungan, perampasan, dan penindasan bagi rakyat terdampak. 

Dengan dampak tersebut, proses transisi energi di Indonesia yang seyogyanya mengedepankan aspek demokratis  masih belum tersentuh 100%. Realistis saja, alat-alat yang digunakan nantinya dalam proses transisi energi masih bergantung pada alat-alat yang memiliki kandungan fossil fuel.

Transisi hijau saat ini bisa mengarah pada green colonialism, bukan pada green energy untuk negara kita karena hak-hak rakyat terpaksa ditundukkan dalam proyek ini dan prosesnya cenderung dipenuhi oleh obsesi yang belum matang sempurna. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline