Lihat ke Halaman Asli

Seribu Wajah di Cermin Retak (Bagian 1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

1

Aku berdiri di parkiran, tidak jauh dari pohon palem. Di atas sana, kulihat sinar bulan mencoba menembus gumpalan awan yang menutupnya dan membentuk noktah keabu-abuan. Tidak seperti biasa, angin berhembus agak kencang. Itu kutahu dari kibaran keras umbul-umbul merek rokok di seberang jalan, yang menampar malam dan rasa dingin yang menusuk, menembus sweater tebalku sampai ke kulit. Aku bergidik beberapa kali. Kurasa malam sedang mencoba menjadikanku bagian dari dirinya. Tubuhku mulai membeku. Dingin itu semakin merasuk. Nafasku berat.

Aku masih tak beranjak ketika malam semakin merangkak naik dan angin yang berhembus semakin kencang. Nampak awan mulai bergeser enggan dan pelan seperti keong, meninggalkan bulan yang diselimutinya sejak tadi. Sebuah bulan tua yang pucat muncul sedikit demi sedikit mencoba menerangi malam. Aku mendesah. Pancaran sinar bulan yang malas dan redup mengingatkan pada diriku yang akhir-akhir ini juga seperti itu karena kurang tidur. Ya, seperti bulan malam ini, aku juga pucat. Tapi seperti burung hantu, pandanganku tetap awas.

Meski berdiri agak jauh, tapi masih bisa kulihat dengan jelas beberapa orang yang keluar dari pintu bertirai merah itu, sebelum kemudian bergegas masuk ke dalam mobil yang terparkir menunggu. Di antara mereka ada yang berjalan sempoyongan sambil meracau tidak jelas, ada pula yang setengah diseret oleh temannya, dan seseorang bahkan ada yang muntah sambil lehernya dipijit oleh seorang perempuan muda berpakaian minim, di dekat tong sampah.

Walau tak mengenal satu pun dari mereka, tapi kutahu pasti kalau orang-orang itu juga manusia malam sepertiku. Dan walau kami sama-sama terlahir sebagai manusia yang suka berkeliaran di malam hari, tapi aku juga sadar kalau guratan nasibku dan mereka sangat jauh berbeda bagai bumi dan langit; kukenali mereka sebagai manusia kaya dari golongan para tuan yang harus dilayani dan aku yang miskin sebagai pelayannya.

"Sudah jauh malam," bisikku lemah sambil melirik jam tangan yang sudah menunjukkan jam setengah dua.

Melan, teman sekerjaku yang sejak tadi kutunggu belum juga nampak batang hidungnya yang mancung. Barangkali ia masih ada urusan di dalam sana, pikirku menenangkan diri. Selama ini, atau tepatnya dua bulan pertama sejak aku bekerja di night club ini, kami berdua memang selalu pulang bersama; tempat tinggal kami hanya dipisahkan oleh lapangan bulu tangkis di sebuah perkampungan kelas bawah. Nasib dan keadaan telah membuatku dan Melan menjadi teman seperjuangan; teman berbagi tawa ketika kami tiba-tiba ketiban tips besar dari seorang tamu yang royal, atau berbagi sedih ketika seorang tamu yang kasar menjadikan kami sasaran pukulan kemarahannya hanya karena terlambat mengantarkan pesanan. Kucoba tetap bersabar menunggu.

Waktu kembali menemaniku berdiri dalam diam di parkiran. Tepat di atas kepala, mendung juga kembali berarak menyelimuti bulan yang seakan sedang butuh pelukan. Dengan pasti, malam merangkak menuju pagi dan mengusir satu persatu mobil beraneka merek yang tadinya berjejer rapat di parkiran. Tinggal dua mobil saja yang masih tersisa: sebuah mobil BMW bercat metalik dan sebuah sedan ramping merah tua. Sekali lagi kulihat jam tangan.

"Kenapa Melan lama sekali, ya?" bisikku gelisah.

Sudah hampir setengah jam kubiarkan diriku jadi santapan nyamuk yang tidak peduli kalau darahku bukanlah darah yang enak dihisap karena terlalu sering tercampur nikotin dari kopi pahit penghilang kantuk yang sering kali kuminum. Sudah beberapa kali juga angin malam yang dingin memaksaku melakukan gerakan senam ala kadarnya untuk menjaga agar tubuhku tetap hangat dan tahan berdiri menunggu. Tapi sampai kapan? Aku mulai bimbang. Haruskah kutunggu Melan-yang berarti jatah tidurku akan semakin berkurang dan membuatku semakin pucat-ataukah langsung pulang saja-yang artinya harus jalan sendiri melewati jalanan yang gelap? Kebimbanganku kemudian terjawab ketika sosok Melan muncul dari arah pintu bersama Om Yus.

"Ra!!" teriak Melan sambil melambaikan tangan ke arahku. Mataku langsung membesar. Akhirnya pulang juga, batinku lega. Kubalas lambaiannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline