Termangu aku duduk di sudut ruang
Gelap dan pengap..
Ragaku teronggok terabaikan
Tak selarik sinarpun menerobos ke dalam.
Ingin rasanya berlari
Menari-nari di ujung senja
Menebar senyum ke penghujung dunia
Bermain di bawah rinai hujan
Memetik warna-warni bunga yang menggoda mata
Aku rindu belai itu..
Lembut jemarinya menyisir anak rambutku
Kokoh pundaknya menjadi sandaranku
Bidang dadanya menjadi tumpahan tangisku
Aku senang mendengarkan detak jantungnya
Saat ku rebahkan kepala di dadanya.
Namun....
Akulah jiwa yang tersakiti itu
Remuk redam hati ini
Tercabik berkeping-keping
Berdarah dan perih di setiap sisinya
Aku diam saat dia berlalu..
Sejuta harapan terbawa pergi
Tak kan ada lagi belai mesra itu..
Tak ada lagi dada bidang tempatku bersandar
Semua sudah berpindah hati..
Dan aku di sini, hanya bisa meringkuk sepi..
Ditemani derit ranjang besi..
Terbelenggu dalam gelap yang pekat
Raga dan jiwaku sudah mati
Terpasung kayu jati
Dan merekapun memanggilku “Gelo”
***Gelo (bahasa Sunda) = Gila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H