Lihat ke Halaman Asli

Ragile (Agil)

seorang ayah yang kutu buku dan pecinta damai antar ras, agama, dan keyakinan

Cari Inspirasi Sampai Negeri Cina

Diperbarui: 19 Agustus 2016   07:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KENANGAN INDAH:

70 tahun yang lalu ketika bangsa Indonesia baru merdeka, kaum nasionalis, kaum komunis, dan kaum islamis senantiasa akrab sarapan bareng di istana negara. Bung Karno sebagai mbahnya nasionalis memandang islamis dan komunis sebagai sodara seperjuangan. Tiada sekat dalam hubungan pribadi antar "bendera", meskipun mereka sering berdebat dalam banyak isu nasional. Jiwa besar beliau-beliau secara nyata dipersembahkan untuk kejayaan bangsa yang bernama Indonesia.

Tak heran bila pada masa itu lahir bibit-bibit pemimpin nasional yang bersemangat Indonesia Raya. Hasilnya? Indonesia disegani dunia.

KENYATAAN PAHIT:

70 tahun berlalu, warisan jiwa besar pemimpin bukannya dipelihara malah dilenyapkan. Tak ada lagi cerita sarapan bareng antar pemimpin beda "bendera" sambil bercengkrama. Tak ada lagi persodaraan antar golongan secara tulus. Yang menonjol justru permusuhan nyata. Boro-boro gayeng bercengkrama, jabat tanganpun emoh. Parah! Badan mereka boleh gagah dan gemuk, namun jiwanya kerdil.

Bagi jiwa-jiwa yang kerdil, beda bendera berarti musuh yang harus dihancurkan. Bagi mereka, lebih baik sodaraan dengan bangsa asing yang satu bendera daripada sodaraan dengan bangsa sendiri yang lain bendera. Pada titik inilah pasal "Persatuan Indonesia" habis tergerus. Akibatnya mudah tawuran dan mudah diadudomba antar sesama anak bangsa.

Tak heran bila kini yang lahir adalah model pemimpin kelompok. Model pemimpin yang hanya punya wibawa pada kelompok tertentu.

NASIB BANGSA:

Dalam keadaan demikian, jangan harap keberuntungan berpihak ke Nusantara. Sebab hadirnya dewi fortuna memerlukan syarat suasana damai dan aman. Ibarat sebuah Rumah Tangga, pintu-pintu rejeki tertutup selama penghuninya cekcok dan saling bacok. Tak peduli penghuninya rajin ibadah 24jam di darat maupun gemar tausiyah saben detik di medsos, dewi fortuna emoh mampir. "Hawanya panas, Bro...males"

Sampai di titik ini, tak heran bila negeri Tiongkok (Republik Rakyat Cina) sedang panen keberuntungan. Kemampuan mereka menertibkan 1,5 milyar penduduk layak diganjar hoki. Dunia boleh mengecam Tiongkok yang komunis dan pelit hak azasi manusia. Namun dunia mengakui tanpa Tiongkok yang stabil dan makmur barangkali ekonomi dunia hancur berbuntut perang dunia.

Sayangnya bangsa Indonesia gagal ambil pelajaran dari negeri cina dalam soal menegakkan hukum dan ketertiban umum. Malah banyak kelompok waswas bila kerjasama erat dengan pemerintah Cina. Dasar rasa waswas dan curiga berakar dari sentimen etnis plus fanatisme agama. Lucunya pada saat yang sama mereka gemar belanja barang buatan Cina yang sepadan dengan saldo dompet. Banyak ngutang ke Cina, banyak minta dimodalin Cina, banyak ngandelin jaringan bisnis Cina (*hayo ngaku*).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline