Situs berita Asiaone hari ini, 5-09-2012, mengabarkan terjadinya pemaksaan agama kepada etnis Chin yang beragama kristen di Myanmar/Burma. Kejadian tersebut mengutip pernyataan Organisasi Hak Azasi Etnis Chin (CHRO) dan Amnesti International. Pemaksaan pindah ke agama budha dilakukan oleh militer Myanmar kepada para pelajar kristen.
Pemaksaan agama dengan bermacam alasan.
Direktur Program CHRO, Salai Ling, Rabu ini mengatakan bahwa pemerintahan Presiden Thein Sein memperlakukan agama budha sebagai agama resmi negara, tidak sesuai dengan janjinya bahwa rakyat bebas menjalankan agama masing-masing. Rekannya yaitu Rachel Fleming mengungkapkan keluhan perlakuan diskriminatif oleh warga di mana "menjadi kristen tidak cocok, untuk menjadi orang Burma cocoknya beragama Budha."
Ditambahkan pula bahwa etnis Chin yang beragama kristen hidup dalam kemiskinan. Mereka dulunya ada sekitar 500.000 jiwa tapi puluhan ribu jiwa yang teraniaya sudah melarikan diri ke India. Keadaan miskin ini dimanfaatkan oleh militer untuk membujuk hingga memaksa agar pindah ke agama budha.
Pemaksaan agama oleh militer terjadi di antaranya dengan pemontlosan kepala dan maksa pakai jubah ala budha. Ada pula pelajar yang dipukuli bila tidak mengerti ritual budha. Pemaksaan itu konon karena agama kristen dikaitkan dengan negara penjajah dulu. Maksudnya bawaan dari Inggris.
Sedangkan menurut laporan tahunan Amnesti International lain lagi. Disebutkan bahwa etnis Chin masih mengalami penganiayaan hingga tahun ini. Mereka bahkan dihalangi bila akan beribadah maupun akan khotbah dalam gereja. Diingatkan pula perang sodara dan konflik etnis sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan tahun 1948.
Dilarang beda pendapat.
AsiaOne juga mengabarkan pada 2-09-2012 bahwa kemungkinan tahun depan koran swasta boleh terbit di Myanmar. Selama ini hanya ada koran milik pemerintah Myanmar yang disensor amat ketat. Berita apapun dilarang terbit sebelum isi berita disetujui oleh pemerintah. Bila nekad maka wartawan dijebloskan ke penjara.
Saking ketatnya sensor, Seorang mentri bahkan menyeret ke pengadilan dengan tertuduh adalah sebuah penerbitan, gara-gara jajal mengungkap praktek korupsi di dalam kantor kementrian. Maksudnya kalau mua nulis kritik mbok ya ijin dulu boleh apa nggak.
Kondisi tersebut menjadikan sulit menemukan berita independen yang layak dipercaya bila terbitan media Myanmar. Pantaslah bila publik dunia merujuk media dari luar Myanmar untuk mengintip peristiwa dalam negeri Myanmar. Sementara janji kebebasan bersuara baru akan diwujudkan tahun depan. Baru janji.
***