Lihat ke Halaman Asli

Ragile (Agil)

seorang ayah yang kutu buku dan pecinta damai antar ras, agama, dan keyakinan

Salut, Kakek Tetap Produktif dan Makmur Jadi Tukang Urut

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sungguh mengagumkan mendengar kisah adik saya pulang dari tukang urut untuk mengobati tangannya yang terkilir. Mendengar tarif sekali urut yang hanya sekitar 7 menit, wouw mantap, Rp.200.000,-! Maka jangan remehkan pendapatan tukang urut, apalagi tukang urut Cina di Jakarta. Dia adalah seorang kakek-kakek usia sekitar 80 tahunan di sekitar Kwitang Jakarta Pusat. Orang bilang beliau adalah tukang urut Cina. Pasien antri jumlah puluhan saben hari. Tidak sulit meraup Rp.5.000.000,-/hari. Jam praktekpun layaknya kantor profesional yaitu jam 08:00-15:00. Sabtu-Minggu libur, demikian pula hari-hari besar nasional.

Domisili dan tempat praktek si kakek ahli urut cina ada di sekitar Toko Buku Walisongo Kwitang Jakarta Pusat, itu lho dekat kaki lima penjual buku-buku. Hebat kan bisa raup 50jt s/d 100 juta/bulan. Setara gaji Mentri.

Adalah pantas untuk diacungi jempol, bahkan jadi suri tauladan, bahwa beliau seorang kakek yang tetap produktif, mampu menafkahi diri, tetap makmur dalam usia lanjut. Walaupun secara fisik agak goyah ketika berjalan. Sementara banyak lelaki Indonesia setelah masuk usia pensiun 55 tahun lebih suka pensiun cari nafkah, lalu berharap jaminan hidup dari anak. Tidak salah memang, tapi akibatnya?

Adalah kemampuan mencari nafkah yang memelihara martabat lelaki, semua tahu, namun banyak yang stop cari nafkah ketika badan sehat wal afiat. Tidak masalah jika punya sumber keuangan untuk menghidupi diri. Timbul masalah jika tidak punya lalu berharap dari sanak-saudara dan menyangka tidak jatuh martabatnya. Meskipun banyak contoh terjadi di mana  jaminan hidup dari anak mengubah posisi hubungan anak-orang tua. Sering terjadi anak kurang ajar karena merasa mampu menghidupi orang tua.

"Ibarat makan anggur tapi rasanya pahit," kata sebagian orang tua yang menelan getirnya diperlakukan kurang ajar oleh anak-anak yang memberinya makan.

Mungkin tidak seluruhnya salah sikap anak yang tiba-tiba kurang ajar. Bisa jadi itu adalah pelajaran bagi para ayah agar tetap mampu beri nafkah keluarga, setidaknya untuk diri dan istrinya. Karena alasan bahwa sudah tua sudah waktunya pensiun cari nafkah tidaklah tepat jika tidak punya tabungan atau sumber pendapatan. Alasan sudah tua waktunya persiapan untuk akherat sehingga sehari-hari dihabiskan untuk ibadah, juga tidak tepat. Karena kewajiban utama lelaki/ayah cari nafkah selagi badan sehat. Cari nafkah juga ibadah.

Kalau tidak mampu menafkahi diri maka akan masuk daftar pengangguran terselubung yang meruntuhkan martabat sendiri sebagai lelaki. Memang betul agama menganjurkan anak menyantuni orang tua, namun tetap saja berlaku hukum ini: TANGAN DI ATAS LEBIH MULIA DARIPADA TANGAN DI BAWAH.

Kakek ahli urut Cina di Kwitang Jakarta Pusat itu sungguh beruntung: tetap produktif, tetap makmur, dikagumi pasien, dan mungkin diandalkan pula oleh keluarganya. Keahliannya cespleng, sekali urut langsung tok-cer. Urut disempurnakan olesan ramuan Cina. Pasien bule (orang asing) pun ikut antrian panjang berdatangan.

Sebuah contoh lelaki bermartabat tanpa perlu khotbah, bukan?

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline