Lihat ke Halaman Asli

Ragile (Agil)

seorang ayah yang kutu buku dan pecinta damai antar ras, agama, dan keyakinan

Pemilu Singapore: PAP peroleh 60% Tapi Sabet 93% Kursi Parlemen

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_106235" align="aligncenter" width="450" caption="Singapore from Google"][/caption] Inilah Pemilihan Umum (General Election) paling ganjil di dunia. Hasil Pemungutan Suara Sabtu 7 Mei 2011 sudah diketahui hari ini. Dengan sistem GRC dan SMC yang mengadopsi "the winner takes all" menghasilkan perbedaan jauh antara jumlah suara yang diperoleh dengan jumlah kursi parlemen yang direbut. Partai berkuasa PAP anjlog perolehan suara hanya 60% namum menyabet 81 kursi dari 87 yang diperebutkan atau sekitar 93%. Perolahan PAP itupun didukung oleh sistem totaliter di mana semua media massa dikuasai oleh pemerintah milik dinasti Lee Kuan Yew yang melancarkan ancaman "Fear Factor" kepada rakyaknya apabila tidak pilih PAP akan dihukum. Walhasil protes perombakan sistem Pemilu model GRC-SMC gencar di udara. Bahwa kemerosotan popularitas penguasa runtuh tak bisa diingkari. Sebagai contoh kini mucul potisi terpopuler Singapore yaitu Nicole Seah, 24 tahun dari NSP (National Solidarity Party), hanya dalam 2 pekan berhasil melewati popularitas Lee Kuan Yew. Terbukti fanspage di Facebook telah melewati 70000. Kemudian pada perebutan suara di wilayah Marine Parade GRC memaksa tim Senior Minister Goh Chok Tong dari PAP (People Action Party) hanya memperolah  56% melawan tim Nicole Seah dari NSP. Politisi senior hanya menang tipis lawan politisi muda gadis 24 tahun yang baru muncul 2 pekan silam. Lee Kuan Yew, 87 tahun, dengan kendaraan PAP sejak merdeka 1965 banyak disanjung rakyat hingga tahun 2000. Namun dekade terakhir publik mulai bosan dengan gayanya yang otoriter, tidak ada kebebasan pers dan tidak ada kebebasan berbicara dan berpendapat. Singapore di bawah Lee Kuan Yew serupa dengan Malaysia di bawah Najib Razak dan Mesir di bawah Husni Mubarak. United Nation's Human Rights, badan HAM di PBB pun sudah ancang-ancang untuk mengecam dengan keras kepada penguasa Singapore agar memperhatikan freedom of speech, freedom from fear and freedom of the press bagi rakyat. Partai Oposisi semacam WP, NSP, SDP, RP, dll nampaknya sangat antusias untuk merombak sistem Pemilu dan menuntut kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan pers layaknya negara demokrasi. Perombakan diharapkan agar tidak terjadi penyimpangan dalam penempatan wakil rakyat (parlemen). Hasil poll Sabtu kemarin jelas membuktikan bahwa PAP yang hanya meraup 60% suara tapi merebut 93% kursi parlemen. Maklum sistem GRC dibuat oleh PAP sendirian untuk melestarikan kekuasaan. Publik mulai merasa dibohongi dengan sistem itu. Titik Keunggulan PAP (People Action Party) Dengan menguasai kontrol penuh media massa dan lembaga negara, PAP pada masa kampanye Pemilu sebelum 7 Mei 2011 melancarkan jurus lama yang dikenal dengan istilah "Fear Factor" alias Bikin Orang Takut. Dari Lee Kuan Yew hingga mentri-mentri lain melancarkan teror yaitu rakyat yang tidak memilih PAP akan terkena hukuman. Misalnya pembangunan di wilayahnya (misal di Aljunaid) tidak akan diurus, biar Partai oposisi saja yang urus jika oposisi yang merebut kursi parlemen di wilayah tsb. Fear Factor yang umum adalah ini: 1) Pemerintah tahu siapa mencoblos partai apa ketika di dalam bilik suara (ballot) sehingga rakyat takut pilih partai oposisi dengan resiko dipecat dari pekerjaan, sulit memasukan anak ke sekolah, tidak dapat fasilitas pemilikan rumah/flat. 2) Rakyat ditakut-takuti jika PAP kalah maka investasi asing akan lari, 3) Rakyat ditakut-takuti jika PAP kalah akan jadi negara miskin dan pembantu/TKW/maid di negeri lain, 4) Siapapun yang mengkritik penguasa dengan keras akan berujung masuk penjara, dibuang ke negara asing, didenda jutaan dollar hingga harta ludes dan jatuh bangkrut/miskin seperti tokoh oposisi sebelumnya. Dan yang paling sukses dalam 50 tahun  adalah anak-anak sekolah dilarang belajar politik. Sehingga menghasilkan generasi muda buta proses politik. Semua nasib bangsa dan negara diserahkan kepada janji manis dinasti Lee Kuan Yew. Untuk itu Lee Kuan Yew dan kelompoknya di PAP yang jadi mentri menikmati gaji setara 5x lipat gaji Presiden Amerika Barack Obama, di atas 3 juta dollar per tahun. Namun karena gap kaya-miskin melebar jauh dan angka kemiskinan serta biaya hidup melonjak tinggi maka anak-anak muda mulai terjun ke politik. ::: Artikel terkait: Lee Kuan Yew Helps Foreigners Take Over Singapore ::: Berkat munculnya New Media berupa jejaring sosial internet seperti Facebook dan Twitter membuat rakyat punya sumber informasi alternatif. Dan lebih berani melawan tirani dinasti Lee Kuan Yew. Dapat dibayangkan andaikata Singapore telah melepaskan diri dari sensor ketat dan cengkraman maut kepada suara oposisi: hampir pasti PAP runtuh, mungkin hanya memperoleh separoh dari perolehan suara 7 Mei 2011. Serupa ketika Indonesia masuk jaman Reformasi 1999 di mana Partai Golkar terjungkal dari perolehan sekitar 70% menjadi sekitar 20% saja. Jika menggunakan sistem proporsional maka hasil General Election (PEMILU) akan menempatkan parlemen 60% untuk PAP dan 40% untuk Partai-Partai oposisi. Sistem "the winner takes all" hanya cocok untuk Pemilihan satu orang Pejabat Presiden/Perdana Mentri/Gubernur, bukan untuk parlemen. Wakil Rakyat (parlemen) biasanya menggambarkan porsi perolehan suara (votes). *) sumber: Temasek Review, The Straits Times *** by Ragile

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline