[caption id="attachment_76585" align="aligncenter" width="300" caption="Julian Assange of Wikileaks (foto dari AP)"][/caption] Dunia jurnalisme dan investigative reporting dikejutkan oleh munculnya situs wikileaks yang dikomandani oleh Julian Assange. Penguasa dan rezim beberapa negara yang kena getah bocoran dokumen rahasia tak kauasa bereaksi keras. Kontroversi merebak. Setidaknya pemerintah Amerika, China, Korea Utara, Iran, Saudi, Belanda, dan Indonesia merespon. Konsumen berita menyambut dengan harap-harap cemas. Lalu bagaimana kita menyikapi perkara sensitif ini ketika keamanan negara seakan dibuka lebar-lebar di atas meja? Beberapa pekan ini sahabat saya Della Anna terbilang rajin menguyah progress bocoran dari Wikileaks dan sering berbagi di Kompasiana. Kemaren dia turunkan postingan bertajuk (klik di sini): Cable Gate Penyambung Wikileaks. Saya terus terang salut kepada kompasianer ini yang tinggal di Belanda. Sebagai jurnalis perempuan adalah layak diacungi jempol ketika getol menggeluti dunia informasi dan dokumen rahasia. Sekedar untuk mengingatkan saya kutip informasi dari Wikipedai tetang Wikileaks sbb: [ WikiLeaks atau Wikileaks adalah organisasi internasional yang bermarkas di Swedia.[2] Situs Wikileaks menerbitkan dokumen-dokumen rahasia sambil menjaga kerahasiaan sumber-sumbernya. Situs tersebut diluncurkan pada tahun 2006. Organisasi ini didirikan oleh disiden politik Cina, dan juga jurnalis, matematikawan, dan teknolog dari Amerika Serikat, Taiwan, Eropa, Australia, dan Afrika Selatan.[1] Artikel koran dan majalah The New Yorker mendeskripsikan Julian Assange, seorang jurnalis dan aktivis internet Australia, sebagai direktur Wikileaks.[3] Situs Wikileaks menggunakan mesin MediaWiki. ] Mendadak saya, mungkin juga Anda, teringat geger investigative reporting jaman sebelum ada internet yaitu Skandal Watergate tahun 1972-1974. Sebuah skandal politik di Amerika Serikat yang mengakibatkan pengunduran diri Presiden Richard Nixon. Karena mengakibatkan krisis konstitusi yang menghebohkan. Nama Skandal tersebut diambil dari sebuah hotel di Washington D.C. tempat dimana peristiwa tersebut terjadi. Dari skandal inilah dunia mengenal Deep Throat, pseudonim (nama samaran) yang diberikan pada sumber rahasia yang mebocorkan informasi tentang keterlibatan pemerintahan Presiden Amerika Serikat saat itu Richard Nixon, yang kemudian dikenal sebagai Watergate. Deep Throat adalah sumber penting bagi reporter harian Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Bersama-sama mereka menulis seri artikel tentang skandal yang menyebut langsung bahwa pemerintahan Nixon terlibat di dalamnya. Itulah yang kemudian memaksa Presiden Nixon mengundurkan diri dari jabatannya. Pada tanggal 31 Mei 2005 W. Mark Felt, mantan Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) periode 1971-1973 mengaku dirinya sebagai Deep Throat. [caption id="" align="alignleft" width="284" caption="wikileaks (sangpemburuberita-blogspot.com)"][/caption] Bagaimana menyikapi Wikileaks? Atas kontroversi bocoran dokumen rahasia keamanan negara yang dirilis Wikileaks adalah wajar bila muncul reaksi keras berupa penyangkalan oleh rezim yang terkena imbas. Sama lumrahnya banyak dukungan dari jurnalis dan konsumen berita yang haus informasi penting di balik peristiwa-peristiwa di dunia. Mudah diduga bahwa di negara-negara yang telah menerapkan demokrasi dan keterbukaan informasi tidaklah ekstem dalam mengambil sikap. Sebaliknya di negara-negara diktator dan tertutup tak ada kata lain selain penyangkalan demi penyangkalan. Jangankan kepada dunia, kepada rakyatnya sendiripun akses informasi dibuat semisterius mungkin layaknya harta pribadi para penguasa demi melanggengkan kekuasaan. Kebenaran informasi Wikileaks bisa jadi sulit dipungkiri namun tidak serta merta boleh dilalap habis sebagai sebuah kebenaran mutlak. Karena di dalamnya terkandung banyak informasi yang memerlukan pemahaman maksud, tafsir, makna dari para pelaku yang terlibat. Pada saat yang sama perbedaan persepsi atas informasi yang disajikan sulit dihindari. Sampai di titik inilah kita perlu belajar dari sejarah akan jurnalisme dalam kaitannya dengan rahasia negara. [caption id="" align="alignright" width="252" caption="wedhus gembel gunung merapi (rovicky.wordpress.com)"][/caption] Bocoran dokumen rahasia negara-negara oleh Wikileaks laksana "wedhus gembel" yang muntah dan meletus dari perut gunung berapi. Rahasia-rahasia terpendam beterbangan laksana kotak pandora. Hawa panas dan ancaman maut menerkam orang-orang yang terkena hembusan. Dan dari kejauhan penonton menyaksikan dengan penuh debar jantung sekaligus takjub. Pada akhirnya kita harus memilih untuk mengambil sikap yang tepat dan bijak atas semua bocoran dokumen rahasia oleh Wikileaks. Jikalau memang benar informasi tersebut tidaklah mengherankan. Peneliti LIPI Muhammad Sobari pernah mengatakan bahwa kebenaran adalah musik yang tidak sesuai bagi kuping para penguasa. Entahlahlah. *** Salam tuljaenak, RAGILE 07des2010 *
***
Postingan sebelumnya:
Saatnya Buka Lembaran Baru dan Menjemput Gemilang Matahari
***
Jangan lewatkan postingan kawan-kawan:
Della Anna : Provinsi Papua Paling Miskin
Nunik Utami : Ketika Payudaraku Terasa Sakit
Dudi Rustandi : Poligami Realitas Media Sosial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H