Terbentuknya good governance membuat pemerintah harus dapat berkolaborasi dengan pihak lainnya, yaitu swasta dan masyarakat sipil. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah harus mampu bekerja sama dengan pihak lainnya untuk mewujudkan nilai-nilai yang ada dalam good governance salah satunya partisipasi. Dengan melibatkan pihak lain untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik akan semakin optimal dan terdapat tranparansi atau keterbukaan sehingga masyarakat mudah mengakses informasi dari pemerintah.
Menurut Basuki (2006) (dalam Muchtar Luthfi Al Azhar, dkk) good governance merupakan sebuah upaya untuk merubah watak pemerintah atau government yang semula cenderung bekerja sendiri tanpa memerhatikan aspirasi masyarakat, menjadi pemerintah yang lebih aspiratif. Artinya, pemerintah dalam sistem good governance harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam pembuatan sebuah kebijakan publik. Kemudian, Tjiptoherijanto (2010) (dalam Muchtar Luthfi Al Azhar, dkk) mendefinisikan good governance dari sisi atau sudut pandang harapan aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Ia menyatakan bahwa good governance adalah sebuah tata kelola pemerintahan yang berupaya untuk memenuhi harapan-harapan pihak yang terlibat atau stakeholders dalam pengambilan keputusan. Dengan adanya aspirasi dan keterlibatan berbagai stakeholder yang memiliki beragam kepentingan, maka pengambilan keputusan akan memperoleh banyak pertimbangan yang matang dan keinginan stakeholder yang memiliki beragam kepentingan tersebut akan dapat tercapai.
Good governance memiliki beberapa unsur yang terkandung di dalamnya. Apabila salah satu unsur tersebut tidak terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka harapan adanya good governance tidak akan dapat terwujud. Selain itu, pengelolaan tata pemerintahan yang efektif dan efisien juga tidak akan tercapai, karena pemerintah hanya bekerja sendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Unsur-unsur good governance telah disebutkan oleh Sjamsuddin (2006) (dalam Muchtar Luthfi Al Azhar, dkk). Unsur yang pertama adalah negara atau state. Negara secara umum mencakup keseluruhan lembaga politik dan sektor publik yang ada di suatu negara, dan memiliki peranan untuk menyelenggaraan pelayanan publik, menyelenggarakan kekuasaan untuk memerintah, serta membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan. Unsur kedua yaitu sektor swasta yang meliputi perusahaan yang aktif dalam sistem pasar. Pihak swasta memiliki peranan yang besar untuk perbaikan produktivitas, penyerapan tenaga kerja, serta investasi publik. Unsur ketiga dalam good governance adalah masyarakat sipil yang meliputi individu dan kelompok yang ada di dalam masyarakat dan diantara mereka saling berinteraksi baik secara ekonomi, sosial, dan politik. Masyarakat sipil berperan dalam melakukan check and balances terhadap kewenangan negara dan swasta, serta memberikan kontribusi untuk memperkuat unsur negara dan swasta.
Dalam rangka perwujudan good governance, maka pemerintah dapat membentuk collaborative governance. Pemerintah harus melibatkan ketiga pihak tersebut yaitu negara, swasta, dan masyarakat sipil dalam melakukan pembangunan negara. Collaborative governance biasanya dilakukan dalam rangka melaksanakan suatu pembangunan atau program, dan pemerintah tidak mampu untuk bekerja sendiri. Sehingga, pemerintah harus melibatkan pihak lain untuk diajak berkolaborasi. Dalam collaborative governance lebih memfokuskan pada pembentukan sebuah forum antar aktor yang berkepentingan. Alasan dibentuknya collaborative governance adalah adanya ketidakmampuan pemerintah dalam mengandalkan kapasitas internal pemerintah dalam melaksanakan suatu program yang dicanagkan. Menurut Purwanti (2016: 174) (dalam Ranggi Ade Febrian, 2016), hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan sesama pihak pemerintah, swasta, masyarakat, dan komunitas. Jalinan kerjasama yang dibentuk ini akan dapat membentuk suatu kerjasama yang kolaboratif dan akan mencapai tujuan dari program secara maksimal.
Menurut Ansell dan Gash (2007: 544) (dalam Ranggi Ade Febrian, 2016), collaborative governance merupakan suatu pengaturan yang mengatur satu atau lebih lembaga publik secara langsung terlibat dengan pemangku kepentingan non publik dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat formal, berorientasi pada konsesnsus, dan musyawarah yang bertujuan untuk membuat, menimplementasikan, dan mengelola kebijakan publik atau program yang dibentuk. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam collaborative governance terdapat berbagai forum untuk berdikusi mengenai kebijakan publik atau program yang dicanangkan. Forum tersebut merupakan forum formal, sehingga di dalam forum tersebut hanya berkisar pada kerjasama antar lembaga politik, aktor publik, dan aktor non publik.
Collaborative governance pada dasarnya memiliki tujuan utama, yaitu untuk memecahkan suatu permasalahan atau isu tertentu yang dialami oleh stakeholder terkait. Tidak hanya melibatkan pihak pemerintah dan swasta saja, tetapi masyarakat sipil juga ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan publik serta perumusan pengambilan keputusannya. Kolaborasi ini terbentuk akibat kondisi ketidakmampuan dan keterbatasan masing-masing stakeholder yang terlibat dalam hal kapasitas, sumber daya, serta jaringan. Sehingga, kolaborasi ini bertujuan untuk saling melengkapi kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder dan diharapkan dapat mendorong keberhasilan pencapaian tujuan bersama. Kedudukan masing-masing stakeholder dalam kolaborasi ini adalah sama, artinya tidak ada pihak yang paling tinggi dan paling rendah kedudukannya.
Salah satu bentuk perwujudan dari collaborative governance adalah dalam pengentasan kemiskinan. Dalam konteks ini, setiap pihak yang melakukan kolaborasi melakukan tugasnya sesuai dengan kewenangan, sumber daya, dan kapasitas yang dimiliknya. Partisipasi pihak-pihak tersebut tersebut harus dimanfaatkan secara maksimal sejak proses mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi upaya pengentasan kemiskinan. Upaya pengentasan ini dapat dilakukan melalui berbagai program yang disusun dan ditetapkan bersama-sama oleh stakeholder yang terlibat dalam proses collaborative governance.
Dikutip dari Buku Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan, sebelum melaksanakana upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan pembenukan kemitraan atau pihak yang akan berkolaborasi terlebih dahulu. Dalam fase ini, terdapata proses yang berkaitan dengan data dan masalah yang akan ditangani dan yang akan ditempuh. Tahapan ini mencakup tahap pemetaan masalahn, kebutuhan, dan penentuan solusi yang tepat untuk pengentasan kemiskinan. Di dalam fase ini terdapat fase pemilihan mitra. Pada fase ini, pemerintah harus mampu menemukan dan mengenali pihak atau stakeholder yang tepat untuk diajak bekerja sama. Pemilihan mitra harus didasari pada pemetaan objektif terhadap kapasitas, kualitas, integritas, dan komitmen yang dimilih oleh pihak yang akan menjadi mitra untuk berkolaborasi dengan pemerintah. Dalam rangka pembentukan program pengentasan kemiskinan, maka pihak pemerintah diwakili oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Lembaga ini dibentuk pada tahun 2010 dan berlandaskan pada aturan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Kemudian, Perpres ini dipebarui dengan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2015. Oleh karena itu, TNP2K harus mampu melaksanakan collaborative govenrnance dengan baik agar tujuan dalam penanggulana kemiskinan dapat tercapai. TNP2K juga harus cermat dalam memilih mitra yang akan diajak untuk berkolaborasi, serta memastikan bahwa mitra yang akan berkolaborasi tersebut memiliki kapasitaas dan sumber daya yang mencukupi ketika harus membentuk suatu program pengentasan kemiskinan.
Setelah fase pembentukan kemitraan berhasil dilakukan, maka fase selanjutnya yaitu fase implementasi. Fase ini merupakan fase dimana program pengentasan kemiskinan yang sudah ditentukan akan mulai dilaksanakan sampai dengan menghasilkan output dan outcome yang telah direncanakan sebelumnya. Apabila output dan outcome yang dihasilkan sesuai dengan perencanaan, maka tujuan pengentasan kemiskinan dapat tercapai. Pada tahapan ini, peran setiap stakeholder yang terlibat dalam kolaborasi ini akan semakin jelas dengan adanya perjanjian kerja sama yang lebih spesifik yang dapat bersifat transaksional atau subkontrak dan bersifat kolaborasi murni, dimana setiap stakeholder yang terlibat saling berkontribusi satu sama lain.
TNP2K dalam menerapkan kolaborasi memiliki kerangka kerja yang disetujui bersama untuk penanggulangan kemiskinan. Model tersebut menggunakan pendekatan manfaat bersama, dimana model ini juga diterapkan dalam berbagai program CSR oleh perusahaan. Pada model ini, sektor swasta diikut sertakan dalam penerapan konsep penciptaan manfaat bersama. Oleh karena itu, perusahaan swasta yang terlibat dalam kolaborasi ini akan memahami pentingnya memasukkan berbagai masalah yang ada serta kebutuhan susunan program dalam rancangan startegi CSR. Sektor swasta juga akan bekerja sama dengan pemerintah daerah serta mitra lainnya yang terlibat dalam penentuan sasaran program. Proses yang dilakukan secara bersama-sama antar pihak yang berkolaborasi antara lain yaitu proses penentuan kebutuhan, rencana aksi, kebutuhan pendanaan, dan pelaskanaan. TNP2K berusaha semaksimal mungkin untuk menyeleraskan nilai-nilai kebersamaan dan ekonomi antara kepentingan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat yang terlibat dalam proses kolaborasi penanggulangan kemiskinan tersebut.
Dalam fasilitas kerja bersama untuk penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan oleh TPN2K, setiap pihak memiliki nilai yang dipegang oleh masing-masing. Pemerintah memiliki nilai dan perilaku yang dapat merujuk pada prioritas mengurangi kemiskinan. Lalu, dunia usaha memegang nilai ekonomi sumber daya dan pendanaan. Dan, masyarakat memegang nilai partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga nilai tersebut harus dapat menyatu agar dapat mencapai satu tujuan, yaitu mengembangkan inisiatif untu penanggulangan kemiskinan.