Kisah ini diambil dari kisah nyata. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua yang masih hidup untuk lebih bertaqwa kepada Allah SWT.
Aku tinggal disebuah kota berkembang, bukan kota besar. Rumah tempatku tinggal cukup strategis. Belakang rumahku ada masjid dan rumah-rumah toko. Aku bertetangga dengan seorang nenek tua, sebut saja namanya Mbah Darmi. Jarak rumahnya hanya 20 meter dari rumahku. Hampir dari 20 persen tetangga di kompleks rumah kami adalah anak cucu beliau. Mbah Darmi dikenal sebagai orangtua yang tegas dalam mendidik anak, beliau mencari nafkah sendiri karena suaminya sudah lama meninggal. Mbah Darmi tinggal bersama anak perempuannya yang sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Karena sudah terlalu tua, keperluan sehari-hari diberikan oleh anak-anaknya, meskipun beliau memiliki simpanan uang hasil menjual tanah.
Rabu siang mamaku memberi tahu bahwa Mbah Darmi masuk rumah sakit. Beliau sudah 2 hari dirawat. Malam kamis, kami dan para tetangga siap-siap menjenguk tapi ternyata cuaca tidak mendukung, malam itu hujan lebat. Kamis sore akhirnya bisa menyempatkan untuk menjenguk. Aku baru tahu usia Mbah Darmi 102 tahun. Subhanallah. Ketika kami datang, kami disambut baik anak cucu beliau. Mbah Darmi memang sudah pikun, namun masih bisa mengenali orang-orang dan masih bisa mendengar dengan baik. Salah satu dari anak beliau mengatakan pada kami umur ibunya tidak lama lagi. Dokter mengatakan hanya tinggal menunggu waktu. Aku melihat beliau tergolek lemah, namun meronta-ronta seperti anak kecil, menjerit –jerit ketika melihat orang yang tidak disukainya. Anak-anaknya dan beberapa tetangga mengingatkan untuk beristigfar menyebut asma Allah, tapi beliau terus mengatakan, “mana uangku….?mana uangku…?”. Kami hanya beristigfar dalam hati. Ada salah satu tetangga yang amat sangat dia benci. Sebut saja namanya ibu Ana. Aku tidak tahu percis penyebab kebencian itu, yang aku tahu ada sangkut paut piutang yang tidak dibayarkan.
Tiba saat kami izin pulang kerumah, satu persatu menyalami dan mendo’akan beliau cepat sembuh. Ketika giliran ibu Ana ingin menyalaminya, sontak sorot mata Mbah Darmi melotot. Ibu Ana diam dan tidak berani mendekatinya.
Jum’at sore aku dengar dari mamaku Mbah Darmi sudah dibawa pulang, kabarnya kondisi kesehatan beliau sudah membaik. Syukurlah, aku senang. Malamnya aku berencana menjenguk lagi. Selang beberapa langkah, aku mengurungkan niat. Didepan rumah Mbah Darmi ramai anak-anaknya, menantu, cucu dan sanak family lainnya. Aku bertanya kepada cucu beliau yang rumahnya tepat di depan rumahku, “Mbak, rumah Mbah Darmi kok rame sekali? Ada apa?”. Cucunya menjawab, “Mbah ndok, jerit-jerit nanyain uangnya lagi, yang hutang sama mbah ndak tahu siapa aja, jadi kami sekeluarga iuran ngasih uang ke Mbah, bilangnya uang orang-orang yang sudah bayar hutang. Terpaksa harus dibohongi, kalo ndak gitu ndak bisa diem, ndak mau istirahat dan minum obat”. Aku hanya diam.
Hingga esok harinya semua masih berkumpul. Sabtu malam kejadian yang sama terulang lagi. Para tetangga mulai datang, tapi aku tidak ikut. Aku mendengar cerita dari mamaku. Ibu Ana juga ikut hadir. Mbah Darmi masih seperti hari-hari kemarin, meronta-ronta menanyakan uang meski sudah dikepalkan ditanganya uang hasil iuran kemarin. Mbah Darmi memanggil ibu Ana yang kebetulan berdiri di dekatnya. Setelah ibu Ana mendekat, ditendangnya ibu Ana, Alhamdulillah tidak mengenai tubuh Ibu Ana. Ibu Ana lantas meminta maaf kalau selama ini mungkin punya banyak kesalahan. Sedangkan ibu-ibu yang hadir terus membimbingnya mengucapkan kalimat syahadat, sholawat nabi dan membacakan surat Yasin. Bibir Mbah Darmi seolah terkunci, tenggorokannya seakan terikat tali, tubuhnya panas. Sedikitpun tak terdengar beliau bisa menyebut asma Allah.
Keesokan paginya hal serupa masih terjadi, semua masih tetap berkumpul. Tepatnya Minggu pagi, aku masih membereskan rumah. Tiba-tiba mamaku memberi kabar bahwa Mbah Darmi telah tiada. Aku bersiap-siap melayat, sepuluh menit kemudian salah seorang cucunya memberi kabar bahwasanya neneknya belum meninggal. Aku hanya beristigfar dan kembali membereskan rumah. Tidak lama kemudian, selang 20 menit cucunya kembali datang kerumah dan memeberi tahu warga bahwa neneknya sudah meninggal. Kabar duka disiarkan di masjid-masjid sekitar rumah.
Berbondong-bondong para tetangga datang melayat. Ketika jasad sedang dimandikan, tubuh beliau masih terasa panas, tidak seperti jasad pada umumnya yang terasa dingin setelah beberapa waktu. Setelah proses pemakaman selesai dilakukan, aku berniat menanyakan kepada salah seorang kerabat dekat almarhumah tentang penyakit yang diderita Mbah Darmi. Kerabatnya mengatakan selama hidup Mbah Darmi jarang sakit, beliau mulai sakit-sakitan karena memikirkan uang yang dihutangkan tidak dibayarkan. Beberapa orang yang meminjam uangnya kabur tak bertanggung jawab. Mbah Darmi sering menanyakan mengapa unagnya tidak dikembalikan. Beliau menyimpan dendam kepada orang-orang yang telah membohonginya. Sejak saat itu beliau mulai jarang pergi ke masjid. Uang hasil menjual tanah tidak dibayarkan zakat. Meskipun selama hidup beliau dikenal ramah kepada para tetangga tapi dikalangan keluarga dan anak-anaknya sering terjadi ketidakharmonisan. Aku hanya bisa diam dan mendo’akan semoga arwah beliau diterima disisi-Nya. Aamiin ya robalaamiin.
Sebelum aku menuliskan kisah ini aku sudah mengatakan kepada orang-orang terdekatku untuk mengambil hikmah segala yang terjadi dalam kehidupan yang kita jalani. Seperti inilah hidup di dunia, terkadang kita sudah merasa memberikan yang terbaik tapi kita sering lupa akan kewajiban kita kepada Sang Pencipta. Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwasanya kita hidup di dunia ini hanya sementara meski kita diberikan umur yang panjang, meski kita diberikan kesejahteraan harta, tahta dan keluarga. Bukan bermaksud menggurui, tapi kita perlu ingat yang abadi hanya lah kehidupan akhirat, setiap yang bernyawa pasti merasakan mati dan kembali kepada-Nya. Sudah waktunya kita mejalankan perintah-Nya dan menjauhi larang-Nya. Percayalah, Surga adalah janji Allah kepada umat yang bertaqwa. Aamiin ya robalalaamiin. Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H