Lihat ke Halaman Asli

Randhi P.F.H

Editorial

Danau Toba yang (Belum) Bersolek Menjadi Monaco of Asia

Diperbarui: 6 Mei 2016   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga Desa Bandar Purba, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun melakukan evakuasi terhadap bangkai ikan Keramba Jaring Apung (KJA) yang mati di perairan Danau Toba akibat kekurangan oksigen dalam air, Rabu (4/5/2016). Tribun Medan/Royandi HutasoitKABAR tak sedap menguar dari Danau Toba, Simalungun, Sumatera Utara. Sejak 2 Mei 2016 lalu, 300 ton ikan mati di kawasan ternak ikan Keramba Jaring Apung (KJA), Nagori Bandar, Kecamatan Haranggaol Horison. Puncaknya, Kamis 5 Mei, kurang dari sepekan total 1.500 ton ikan mati mengapung dan menguarkan bau busuk.

Yang paling menyesakkan dada, Dinas Pertanian dan Perikanan Simalungun melansir penyebabnya ditengarai kurangnya kadar oksigen air. Kadar normal ikan bertahan hidup 3 Dissolved Oxygen (DO), sedangkan hasil pemeriksaan teranyar 0,8 DO. Duh, mirisnya.

Desas-desus beredar, adanya kemungkinan peracunan air Danau Toba di KJA tersebut. Sebuah tindakan yang diasumsikan berlatar politis demi mengurangi perkembangan ternak ikan KJA. Apalagi tujuh pemerintah daerah yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat sedang menyiapkan Danau Toba menjadi Monaco of Asia.

1 Maret2016, Presiden Joko Widodo mengapungkan ikhtiar menjadikan Danau Toba menjadi daerah wisata internasional dengan tagline Monaco of Asia. Tujuh kepala daerah yang turut mendukung perwujudan ikhtiar tersebut. Ikhtiar yang tentu tak mengada-ada, Danau Toba dengan bentang alam nan aduhai sedemikian, lebih dari layak untuk menjadi destinasi wisata nasional.

Danau Toba hingga kini menelurkan dua wadah penghasilan bagi masyarakat setempat, pariwisata dan perikanan. Namun, sektor pariwisata boleh dikata belum terkelola begitu apik. Walhasil, kemeriahan kedatangan pelancong lokal dan mancanegara ibarat itil (ilang-ilang timbul), demikian kami menyebut penggambaran kondisi itu di sini.

Akomodasi, kerajinan tangan, perhotelan tidak begitu bergemuruh hasil dan penghasilannya. Masyarakat termasuk perusahaan-perusahaan yang bak benalu menyedot untung, lebih memilih gebyar hasil perikanan. Peliknya dengan sistem KJA. Sampai di sini, aku tak akan menuding desas-desus sabotase bermuatan politis, sebagai asumsi yang patut disalahkan. Silakan saja.

Begitu pun, mari menilik problem ribuan ton ikan mati ini secara mendasar dan menyeluruh.

Kilas balik, 1996 lalu Keramba Jaring Apung di Danau Toba diperkenalkan pada masyarakat di Haranggaol. Investor besar asal Swiss mengenalkan budidaya ikan air tawar ini, yang sanggup membuat kepincut masyarakat dan pemerintah daerah.

DanauToba begitu sempurna bagi ikan tawar berkualitas karena kedalamannya yang sangat dalam. Bukan rahasia lagi, kalau ikan KJA Danau Toba memiliki pangsa pasar nan luas hingga diekspor ke daratan Eropa dan Amerika.

Ditahun-tahun berikutnya, perkembangannya teramat pesat. Tak lagi sekadar dikelola sang investor, banyak pula masyarakat yang menyasarnya dan membuat keramba sendiri. Walhasil, desa-desa lain pun turut melakoninya. PinggiranDanau Toba semarak dengan KJA. Mau tak mau, sektor pariwisata cuma dipandang sebelah mata, jika enggan disebut 'ditinggalkan'.

Ikhwalnya untung begitu memukau, seiring waktu buntung pula yang dilarung, meski mungkintidak disadari. Pertambahan KJA nan pesat diiringi pakan berkandung bahan kimia nan sarat pula. Secara kasat indera, tiap pelancong (termasuk aku) yang berenang di Danau Toba akan membaui amis ikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline