Sepertinya aku harus berhenti dan menyudahi perjalanan ini. Merebahkan diri sejenak, agar perjalananku berlanjut dengan layak. Dan aku harus kembali dalam perjalanan yang menyenangkan, yang jauh dari kesengsaraan sebuah harapan. Mulai sekarang aku harus berhenti, dan kusinggahi harapan ini tanpas alas hati.
Tapi apakah mungkin, dengan diriku yang lara ini bisa melakukan perjalanan lagi? Apa aku harus memaksanya? Terus, bagaimana jika harapan itu menyetubuhiku di pertengahan perjalananku?.
Aku pasti akan salah kaprah, dan aku tidak bisa untuk memaksanya, terlalu lelah untuk berpura-pura dan membuka hati untuk meluangkan cintanya. Tetapi kenapa aku masih mengharapkannya, dasar bodoh.
Aku harus mencari cara agar harapan ini diterima kepada manusia yang baik saja, tidak diterima kepada orang salah! Kedua kalinya bahkan seterusnya ataupun kembali kepada tangan yang pernah menampar harapanku dengan hati yang palsu.
Aku harus melanjutkan perjalanan ini, tetapi aku masih bingung dimana saja aku akan melakukan persinggahan. Ke arah mana yang lebih dulu aku tuju? kaki mana yang harus aku langkahi terlebih dahulu, aku serasa menjadi bayi kucing yang tertinggal oleh induknya ditengah hutan.
Bingung, resah, terlantar dengan hati telanjang dan yang aku hanya bisa mengeong-mengeong didalam hati, ditengah hutan, tanpa tahu siapa yang ku minta pertolongan dan pasti tidak ada yang datang.
"Meruntuhkan harapan yang satu ini seperti halnya menopang sebuah dinding besi, keras tak berparas! Menyusahkan, membuat hati menjadi kapok untuk merasakan kasmaran yang kedua kali."
Aku tidak bisa berdiam diri ditengah hutan rindang ini. Apapun resikonya, aku akan lakukan! Dan yang terpenting harapan ini meluap jauh dari hati yang telah dibuatnya mati.
.
.
Sekarang aku sudah setengah jalan, sebentar lagi aku akan sampai kepermukaan yang akan menjadi tempat persinggahan. Aku mulai tidak mendengar celotehan serangga, dedaunan pun semakin pudar dalam menutupi ruang, dan cahaya semakin benderang untuk menerangi perjalanan yang akan membawaku jauh dari keresahan.
Tanah gersang kerontang, angin-angin mengusir debu yang berlayar diatas jalan. Aku sudah mulai terbiasa dengan kepaksaan, walaupun baru setengah perjalanan. Tapi sangat ampuh untuk meredam harapan yang jatuh.
Dalam setengah perjalanan, aku menemukan bermacam-macam ragam kejadian. Dari seekor hewan yang patah hati karena ditinggal pergi oleh suami untuk mencari sesuap nasi. Hingga tumbuhan yang gugur untuk tumbuh karena sang buah enggan untuk bersetubuh.