Lihat ke Halaman Asli

Bonus Demografi? Peluang atau Bom Waktu

Diperbarui: 27 Juni 2024   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BONUS DEMOGRAFI DI INDONESIA

 

Indonesia di ambang pintu era keemasan. Diperkirakan antara tahun 2025 hingga 2045, Indonesia akan mengalami bonus demografi, di mana proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan jauh lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Fenomena ini bagaikan pisau bermata dua, menghadirkan peluang sekaligus tantangan raksasa bagi bangsa.

Kita mulai dari Tingkat kesuburan di Indonesia. Pada masa lampau, Indonesia memiliki tingkat kesuburan yang tinggi, dengan rata-rata 4-5 anak per wanita. Hal ini menyebabkan ledakan jumlah penduduk di tahun 1960an dan 1970an. Saat ini, tingkat kesuburan telah menurun, namun masih di atas angka 2,1 yang merupakan tingkat penggantian penduduk. Namun di sisi lain kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja di Indonesia masih belum merata dan belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan pasar kerja. Hal ini menyebabkan pengangguran yang tinggi, terutama di kalangan pemuda.

Kita akan membedahnya dalam Bentuk S.W.O.T.

  • Strenght

 

Jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang besar, memberikan potensi untuk meningkatkan angkatan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.  Maka akan tercipta generasi muda yang besar dapat memicu inovasi dan kreasi di berbagai bidang, mendorong kemajuan teknologi dan ekonomi.

Baru baru ini ada 3 peneliti belia Indonesia yang berlomba di ajang The 30 International Conference of Young Scientists (ICYS 2024)di Izmir, Turki, dan mereka  berhasil memperolah dua medali perak, satu medali perunggu, serta dua penghargaan untuk poster ilmiah terbaik.

Ini bisa menjadi bukti inspiratif bahwa generasi muda memiliki kekuatan yang bisa bersaing dengan negara lain.

  •  
  • Weakness

Kualitas pendidikan dan pelatihan belum merata, sehingga tidak semua angkatan kerja memiliki keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja. Di beberapa daerah, terutama di pedesaan dan daerah terpencil, akses terhadap pendidikan berkualitas masih terbatas. Kurangnya infrastruktur sekolah, guru yang berkualitas, dan bahan ajar yang memadai menjadi hambatan bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Pendidikan yang rendah umumnya tidak membekali individu dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar kerja saat ini. Kurangnya pengetahuan dan kemampuan teknis dapat membuat mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Hal ini terutama berlaku di era industri 4.0 yang menuntut keterampilan digital, adaptif, dan kemampuan memecahkan masalah. Kesenjangan ini memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi, dan dapat memicu siklus kemiskinan antar generasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline