[caption id="attachment_268840" align="aligncenter" width="601" caption="antaranews.com"][/caption]
Komisioner Komnas HAM, Otto Nur Abdullah menyatakan ada temuan bahwa qanun bendera dan lambang Aceh serta qanun wali Nanggroe itu diskriminasi. Pernyataan tersebut didasarkan pada hasil penilitian Komnas HAM di sejumlah kabupaten Aceh. Otto menyebutkan bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat, Komnas HAM melakukan pemeriksaan ke Kabupaten Bener Meriah pada tanggal 20 s.d 24 Mei 2013 dimana hasil pemeriksaannya adalah Pemerintah Kabupaten Bener Meriah dan masyarakatnya menolak adanya kedua qanun tersebut. Komnas HAM juga melanjutkan pemeriksaannya ke Kabupaten Aceh Tenggara, dimana hasilnya terdapat temuan adanya diskriminasi dalam qanun Wali Nanggroe dan Qanun Lambang dan Bendera Aceh, berdasarkan penjelasan Bupati dan DPRK masing-masing daerah.
Hasil temuan Komnas HAM ini merupakan babak baru dari perdebatan panjang menyoal qanun Wali Nanggroe dan Lambang dan Bendera Aceh dimana selama ini, persoalan seolah terlokalisir antara Pemerintah Pusat dan pemerintah Aceh/DPRA, dengan asumsi Pemerintah Aceh maupun DPRA mengakui dengan mengatasnamakan seluruh rakyat Aceh bahwa baik Wali Nanggroe maupun bendera dan lambang GAM untuk menjadi bendera dan lambang Aceh yang diusulkan dan disahkan oleh Gubernur dan DPRA merupakan pilihan rakyat Aceh. Bahkan anggota DPRA asal Fraksi Aceh, Abdullah Saleh dengan "gagah berani" mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk dilakukan referendum terkait persoalan qanun tersebut untuk membuktikan kebenaran klaim itu.
Menurut saya, persoalan lambang dan bendera Aceh maupun Wali Nanggroe sejatinya merupakan persoalan di antara rakyat Aceh sendiri. Lambang dan bendera Aceh merupakan wujud identitas keacehan yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai historis yang menyertainya, serta keanekaragaman budaya dan kultur Aceh yang kental dengan nilai-nilai keislaman. Sementara itu, persoalan Wali Nanggroe juga hampir sama dimana adat, budaya dan tradisi keislaman diharapkan menjadi elemen pemersatu seorang figur Wali Nanggroe yang terbebas dari persoalan-persoalan politik dan lebih mendekatkan diri pada permasalahan-permasalahan sosial dan budaya Aceh.
Disinilah letak persoalannya menurut saya. Dalam qanun Wali Nanggroe, lembaga yang dipimpin Wali Nanggroe masih belum terlepas dari persoalan-persoalan politik dan bahkan masih menjadi "pemimpin bayangan" di Aceh melalui lembaga yang dipimpinnya. Seperti merancang dan menentukan arah kebijakan strategis perekonomian Aceh, hutan Aceh, sumber daya alam Aceh dll. Sementara itu, tugas pokoknya sendiri sebagai figur pemersatu Aceh justru tidak tampak, dimana dalam acara-acara adat, Malik Mahmud sebagai tokoh yang dipilih oleh DPRA kerap tidak hadir. Seperti dalam MTQ Aceh, acara-acara keagamaan dan bahkan saat ramadhan lalu ybs tidak pernah tampak batang hidungnya untuk melakukan sholat tarawih berjamaah dengan masyarakat Aceh. Selanjutnya dalam hal politik pun, sosok Malik Mahmud juga belum dapat menanggalkan "bajunya" sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Aceh maupun Komite Peralihan Aceh (KPA), tempat bernaung para eks kombatan GAM. Lalu pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dapat mempersatukan rakyat Aceh jika dirinya sendiripun masih menjadi bagian penting dari sebuah partai politik lokal?
Selanjutnya, dalam soal bendera dan lambang Aceh, dimana lambang dan bendera yang dipilih oleh DPRA maupun bendera Aceh adalah bendera dan lambang GAM/separatis. Dari sisi pemerintah Pusat, tentunya pemerintah akan berpegang pada hukum dan peraturan, dimana berdasarkan PP no. 77 tahun 2007 tentang lambang daerah melarang penggunaan simbol-simbol dan lambang separatis. Namun DPRA dalam hal ini tetap bersikeras untuk menjadikan lambang dan bendera sebagaimana yang telah diusulkan dan disahkan. Jika dilihat dari sudut pandang sejarah, bendera GAM maupun simbolnya baru muncul pada tahun 1976, ketika Hasan Tiro mendirikan GAM di Swedia, sangat jauh dengan perjalanan sejarah Aceh yang dimulai sejak abad ke-15 di masa kejayaan kesultanan Aceh.
Oleh karenanya saya berkesimpulan bahwa, persoalan lambang dan bendera maupun Wali Nanggroe, bukan hanya persoalan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh/DPRA namun juga persoalan rakyat Aceh dengan menyadari bahwa tidak semua rakyat Aceh adalah eks kombatan GAM, tidak semua rakyat Aceh mengenal sosok wali nanggroe yang dipilih para eks kombatan, juga tidak semua rakyat Aceh merasa bahwa bendera dan lambang GAM maupun Wali Nanggroe dapat mewakili identitas keacehannya.
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H