Eskalasi politik Aceh menjelang pemilu 2014 mendatang semakin memanas. Persaingan politik di Aceh mengerucut pada dua partai lokal yaitu Partai Aceh (PA) dan Partai nasional Aceh (PNA), yang keduanya sama-sama merupakan partai yang dimotori oleh para eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Persaingan yang sejatinya adalah saling berebut simpati masyarakat berubah menjadi persaingan "siapa yang paling ditakuti" oleh masyarakat. Bahkan di tengah bulan suci ramadhan, yang seharusnya menjadi bulan dimana masing-masing partai menahan diri dan berlomba-lomba dalam kebaikan, namun yang terjadi justru sebaliknya, perlombaan kemungkaran dalam mengejar kekuasaan terjadi di Aceh. Keadaan ini membawa saya kepada suatu pertanyaan, akankah pemilu 2014 di Aceh terancam rusuh?
Sebagaimana telah diberitakan di banyak media lokal maupun nasional, bahwa persaingan politik dua partai lokal terbesar Aceh ini seolah tak kunjung usai dan bahkan kian memanas. Berbagai aksi saling balas, baikdalam bentuk teror maupun intimidasi hingga persoalan hukum seperti penganiayaan fisik hingga pembunuhan berencana. Hal ini semua diawali pada pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada 2012 silam. Dimana mantan Gubernur Irwandi Yusuf harus mengalami pengeroyokan oleh massa Partai Aceh (PA) sesaat meninggalkan ruangan pelantikan. Irwandi Yusuf sendiri dikenal sebagai penggagas terbentuknya PNA yang sebagian besar anggotanya juga berasal dari para eks kombatan GAM, seperti PA. Irwandi Yusuf sendiri sebelumnya, ketika masih menjadi Gubernur Aceh kerap menerima teror dan ancaman yang diduga berasal dari rekan-rekannya sendiri, para mantan kombatan. Puncaknya tentu kita semua masih ingat kelompok Ayah Banta cs yang melakukan serangkaian pembunuhan jelang pemilukada Aceh lalu.
Sumber: http://media.viva.co.id/vthumbs2/2012/06/26/26070_mantan-gubernur-dipukul-massa-usai-pelantikan-gubernur-baru_663_382.jpg
Setelah PNA terbentuk pada 2012 lalu, teror dan intimidasi terhadap partai ini pun semakin gencar terjadi. Pembakaran rumah, mobil, perusakan atribut partai hingga yang paling menghebohkan adalah pembunuhan fungsionaris PNA, Cek Gu oleh anggota DPRK Pidie, Tgk Ilyas yang berasal dari PA. Dan tentu kejadian terakhir yang semakin mengentalkan permusuhan antara PA dan PNA adalah pencopotan dan perobekan bendera PNA oleh Wakil Bupati Aceh Timur, Syahrul Samaun.
Sumber: http://atjehlink.com/wp-content/uploads/2013/04/dua-tersangka-pembunuh-cekgu.jpg
Rentetan kejadian itulah yang membawa saya kepada suatu perkiraan, bahwa pemilu 2014 mendatang di Aceh akan sangat rawan dan penuh intimidasi serta teror. Jikapun tidak terjadi, maka sudah hampir dipastikan bahwa pemilu yang jujur, adil,bebas dan demokratis tidak akan pernah terjadi. Saya meramalkan akan banyak pelanggaran-pelanggaran prinsip, seperti intervensi partai akan sampai ke bilik-bilik pencoblosan, sebagaimana pernah terjadi pada pemilukada Aceh yang lalu. Dan apabila rakyat Aceh masih merasa terancam keselamatan jiwanya dalam menentukan pendapat dan pilihannya, maka sekali lagi, Rakyat Aceh akan memilih wakil-wakilnya di bawah ancaman dan intimidasi seperti wakil-wakilnya yang sekarang.
Penyebab dari persoalan-persoalan di atas sebenarnya sesederhana solusinya, menurut saya. Akar persoalan dari perseteruan 2 partai lokal tersebut adalah, pemahaman dari esensi politik itu sendiri yang memang masih kerdil jauh dari kedewasaan sehingga yang muncul adalah kekerasan, mau menang sendiri. Masing-masing berangkat dari sebuah kemunafikan dan niat buruk untuk menipu rakyatnya sendiri. Kalau tidak percaya, lihat lagi janji-janji Partai Aceh ketika kampanye lalu, dan lalu tanyakan pada siapapun kader Partai Aceh mulai dari Gubernur, Wali Nanggroe sampai tukang sapu, adakah yang sudah terpenuhi?
Kedewasaan politik harus berangkat dari niat yang baik dan tujuan yang mulia yaitu memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat Aceh! bukan demi memperjuangkan kepentingan dan ego masing-masing partai. Ini persoalannya, politik dicerna hanya dengan kekuasaan sehingga yang muncul adalah pemaksaan dan kekerasan. Hasilnya bisa kita lihat bersama, ketika baru dilantik, mantan Gubernurnya pun sudah dihakimi oleh massa partainya. Solusinya pun cukup sederhana, merestorasi niat. Semua harus berangkat dari niat dan kemauan sebelum menetapkan tujuan. Kemana Aceh akan dibawa? Bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat? Apa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Intinya semua harus berangkat dari niat para elit masing-masing partai, apakah politik digunakan hanya demi kekuasaan atau kemaslahatan rakyat?
Memang, sederhana bukan selalu berarti mudah, namun setidaknya merestorasi niat di bulan suci ini menjadi penting setelah memperkirakan keadaan politik Aceh yang cenderung semakin memburuk di waktu-waktu yang akan datang. Kita tentu berharap perdamaian di Aceh dapat terjaga dan terpelihara sehingga berbagai bibit-bibit permusuhan harus segera dihentikan dan diakhiri. Kita tentu tidak menginginkan perdamaian ini terusik karena ulah simpatisan-simpatisan ataupun kader partai yang tidak dewasa dalam berpolitik.