Lihat ke Halaman Asli

Gubernur Aceh, Dokter "Produk Gagal"

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13856935531272566762

[caption id="attachment_280903" align="alignnone" width="678" caption="Sumber: Tabloid Modus Aceh"][/caption]

Aksi solidaritas dokter-dokter di Indonesia semakin marak setelah jatuhnya vonis Mahkamah Agung (MA) terhadap dr. Ayu bersama rekan-rekannya atas dugaan malpraktek terhadap alm.Fransiska. Para dokter-dokter tersebut bersikeras menolak adanya kriminalisasi terhadap profesinya itu. Mereka beralasan bahwa dokter bukanlah satu-satunya "tangan" bekerja untuk menolong para pasiennya, sehingga mereka tidak menjanjikan kesembuhan namun upaya maksimal untuk menolong pasiennya.

[caption id="attachment_280904" align="alignnone" width="228" caption="Sumber: http://nagekeopos.blogspot.com/2013/06/dokter-don-pemimpin-yang-melayani.html"]

13856936011108841579

[/caption]

Aksi para dokter tersebut menarik perhatian saya mengingat profesinya yang sungguh mulia dan menuntut tidak hanya ketelitian dalam diagnosa namun juga kesabaran dan keikhlasan dalam membantu sesamanya. Tidak hanya berhasil dalam menjalankan profesinya, banyak juga dokter di negeri ini yang sukses dalam berkarir di luar profesinya itu dengan tetap melakukan "ilmu terapan" kedokterannya. Sebagai contoh, dr. J.Don Bosco Do, salah seorang calon Bupati di Nagekeo NTT. Meskipun kalah, namun banyak rakyat setempat yang bersimpati pada sosoknya. Hal ini disebabkan dr. Don lebih mengedepankan pelayanan dalam kepemimpinannya.Kedatangannya di setiap daerah disambut secara spontan oleh masyarakat. Di sini saya juga melihat adanya "ilmu terapan" kedokteran yang berhasil diterapkan dengan sangat baik oleh dr. Don yaitu melayani. Contoh lainnya, di Solo, seorang dokter tua bernama Lo Siaw Ging (78 tahun), terkenal dalam masyarakat setempat karena kesederhanaannya dan keikhlasannya dalam melayani masyarakat sehingga dikenal dengan julukan "dokter tanpa tarif". Banyak pasien yang telah dibantunya bahkan tak jarang dibiayai dari kantongnya sendiri apabila si pasien tergolong kurang mampu. Ia sendiri menganggap hal tersebut bukanlah sesuatu yang istimewa, ia mengatakan "Tugas dokter itu menolong pasiennya agar sehat kembali. Apa pun caranya. Saya hanya membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dokter. Tidak ada yang istimewa".

[caption id="attachment_280905" align="alignnone" width="500" caption="Sumber: http://solografi.com/2013/11/16/lo-siaw-ging-dokter-tanpa-tarif/"]

138569364481000110

[/caption]

Memang tidak semua dokter berprilaku dan bertabiat sama halnya dengan dua contoh di atas. Ada juga memang di antaranya dokter-dokter "produk gagal" yang entah diakui secara jujur atau tidak oleh ybs, mereka telah dianggap gagal oleh "pasien-pasiennya". Seperti di Aceh misalnya. Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah adalah seorang dokter lulusan salah satu universitas terkemuka di Sumatera Utara. Ia pun lulusan sekolah spesialisasi "Family Doctor" di Karolinska Universitets Sjukhus Huddinge, Stockholm-Swedia (1990-1995). Perjalanan politik di Aceh mengantarkannya menjadi Gubernur Aceh pada periode ini hingga 2017 mendatang. Secara akademik, tidak diragukan lagi kecerdasan dr. Zaini melihat ia merupakan salah satu dari sedikit putra Aceh yang berhasil lolos dan lulus di luar negeri. Namun demikian, dalam perjalanan kepemimpinannya hingga saat ini, sang dokter dianggap sebagai salah satu "produk gagal" kepemimpinan di Aceh. Kita bisa melihat bagaimana merosotnya ekonomi Aceh saat ini, kegagalan "Aceh Visit 2013" dalam mendulang pariwisata serta birokrasi yang rumit bin ruwet yang dijalankan oleh pemerintahan yang dipimpinnya. Gubernur pun dianggap gagal dalam melakukan rekonsiliasi dengan faksi-faksi yang ada dalam partai pendukungnya (Partai Aceh) sehingga ratusan orang kadernya melenggang bebas pindah ke partai tetangga. Demonstrasi pun seolah tak kunjung padam di seluruh Aceh dan menganggap "sang dokter" loyo dalam mengurus "pasien-pasiennya".

Di sini saya melihat adanya kegagalan dr. Zaini dalam menerapkan "ilmu kedokteran" yang seharusnya dapat memberikan manfaat besar bagi kepemimpinannya. Sebagai "dokter" Provinsi Syariah ini, sudah seharusnya ia dapat mendiagnosa secara tepat "penyakit" yang tengah diderita oleh Aceh. Untuk selanjutnya ia melakukan upaya-upaya maksimal untuk penyembuhannya. Mulai dari pembenahan sistem "tubuh" pemerintahannya sendiri dan pola-pola teratur untuk mencegah "penyakit" itu datang kembali. Dan tentunya ia melakukan itu semua dengan keikhlasan penuh tanpa pamrih dan mengharapkan biaya dari "pasien-pasiennya" itu. Namun yang terjadi justru sebaliknya, "sang dokter" bukan saja gagal mendiagnosa "penyakit", namun justru mengembangbiakkannya hingga merusak seluruh sistem kekebalan "tubuh". Dan lebih buruknya lagi, ia dengan pamrih pun memimta biaya yang cukup besar dari "pasien-pasiennya".

Profesi dokter adalah profesi mulia yang layak mendapatkan tempat yang terhormat, sepanjang sang dokter menjalan profesinya itu dengan serius dan ikhlas bukan sebaliknya. Akhirnya saya hanya ingin menyampaikan kata mutiara inspiratif dari seorang filsuf berpengaruh di Perancis, Prof. Victor Cousin. Ia mengatakan, "Men are governed only by serving them. The rule is without exception." Sang profesor mengatakan bahwa "Rakyat hanya dipimpin dengan melayani. Itu adalah hukum yang tidak bisa ditawar."

Rafli Hasan

Sumber:

1. http://nagekeopos.blogspot.com/2013/06/dokter-don-pemimpin-yang-melayani.html

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline