Lihat ke Halaman Asli

Hillary Clinton dan Misi Kapitalisnya di Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13468997561259558364

[caption id="attachment_197478" align="aligncenter" width="530" caption="sumber: Vivanews.com"][/caption]

Selasa Lalu, Hillary Clinton, MenteriLuar Negeri AS melakukan lawatannya ke Indonesia. Berbekal sejumlah isu global dan regional serta tawaran kemitraan yang semakin luas dengan Indonesia dan juga bantuan dana tentunya, AS melalui wakilnya tersebut diyakini oleh sejumlah kalangan dan pengamat di Indonesia, membawa sejumlah persoalan dalam mengentaskan misi kapitalisnya di kawasan Asia Pasifik.

Isu-isu seperti Laut Cina Selatan, Terorisme, Nuklir Iran dan persoalan minoritas di Indonesia termasuk HAM menjadi pokok bahasan sepanjang pertemuan Menlu Marty Natalegawa dan Hillary Clinton. Secara umum, tidak ada persoalan dalam hubungan bilateral Indonesia-AS, hal tersebut dinyatakan oleh Hillary bahwa hubungan dan kemitraan RI-AS tumbuh semakin kuat dan mendalam. Hal ini mendorong AS memperkuat peran sertanya di kawasan Asia dan Pasifik. Kedua Menlu juga sepakat bahwa penyelesaian berbagai isu global akan dilakukan dengan cara-cara damai dengan mengedepankan diplomasi dalam penyelesaiannya.

Namun demikian, Indonesia hendaknya tidak terlena dan terbuai dalam irama yang dibawakan oleh AS dalam menjalankan kebijakan geo-strategisnya di Kawasan Asia Pasifik dengan tetap berpedoman kepentingan nasional berada di atas segala kepentingan yang ada. Perlu juga diingat, pidato Presiden Obama di Australia pada November 2011 yang menyatakan bahwa kebijakan strategis AS memprioritaskan pada kawasan Asia Pasifik, yang diikuti dengan penempatan 2500 marinir AS di Darwin. Hal ini menunjukkan betapa besarnya kepentingan AS di kawasan ini sehingga Indonesia perlu benar-benar waspada untuk tidak terjebak dalam konflik ataupun perebutan pengaruh antara 2 raksasa di kawasan yaitu AS dan Cina.

Khusus dalam isu Laut Cina Selatan, sebagaimana diketahui konflik perebutan wilayah masih menjadi sengketa di kawasan tersebut dengan melibatkan negara-negara anggota ASEAN seperti Malaysia, Philipina, Vietnam dan Brunei Darussalam. Indonesia sebagai entitas kawasan Asia Tenggara dan pelopor dari terbentuknya ASEAN diharapkan jangan sampai kehilangan perannya dengan kehadiran AS dalam konflik tersebut apalagi menjadi corong kepentingan AS. Laut Cina Selatan sendiri merupakan jalur strategis di kawasan dimana konsumsi dan supplai energi dari kawasan Timur Tengah menuju ke Asia Timur melalui kawasan ini. Indonesia sendiri memiliki posisi strategis dimana pintu masuk kawasan Laut Cina Selatan ini adalah Selat Malaka yang dimiliki bersama dengan Malaysia dan Singapura. Dan pintu masuk Selat Malaka adalah Sabang, Aceh Darussalam.

Melihat begitu strategisnya posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara, menjadikan Indonesia memiliki posisi tawar yang sangat tinggi, oleh karenanya Indonesia tidak perlu ragu untuk menempatkan diri secara proporsional dalam kemitraannya dengan AS yang dilandasi pada saling percaya dan kesetaraan. Sabang sebagai gerbang masuk Selat Malaka harus benar-benar menjadi kawasan yang aman dan bebas dari intervensi asing. Termasuk dengan adanya kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh pasca MoU Helsinki, diharapkan Indonesia mampu mencegah laju keinginan sebagian birokrasi lokal untuk "menjual" Sabang dengan berbagai dalih dan alasan yang mana hal tersebut bukan mustahil terjadi dengan dilandasi oleh MoU Helsinki. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia harus benar-benar firm, tegas dan teguh dalam menjaga kedaulatan wilayah RI.

Oleh karena itu, kebijakan dan kerja sama luar negeri apapun bentuknya sudah seharusnya dilakukan melalui satu pintu, yaitu Kementerian Luar Negeri sebagai bentuk filter dan pencegahan upaya-upaya infiltrasi pengentasan misi kapitalis di wilayah kedaulatan Indonesia yang sangat mungkin dilakukan justru dari "dalam", oleh orang-orang yang memiliki niat dan tujuan semata-mata hanya untuk memperkaya diri dan kelompoknya. "Kelonggaran" dan "celah" hukum yang terdapat dalam MoU Helsinki juga hendaknya tidak menjadikan para pemangku jabatan di Aceh terlena dan sewenang-wenang dalam menjalankan kebijakannya/kewenangannya tersebut. Ingat, di atas MoU Helsinki masih ada UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang menjadi muara hukum yang berlaku di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kita tentunya tidak menginginkan terulangnya kembali masa-masa suram pertumpahan darah antar sesama anak bangsa. Naudzuubillah min Zaliik.

Rafli Hasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline