[caption id="attachment_181551" align="alignnone" width="576" caption="gambar ilustrasi (dok.pribadi)"][/caption]
Tayangan televisi pagi ini menyebutkan bahwa kemarin Ketua KNPB, Buchtar Tabuni ditangkap pihak kepolisian Papua atas dugaan keterlibatannya dalam berbagai insiden penembakan di Papua akhir-akhir ini. KNPB sendiri adalah organisasi perlawanan Papua terhadap kekuasaan pemerintahan Indonesia dengan tujuan memerdekakan Papua secara sah. Sementara itu di Aceh, juga dalam minggu ini kembali terjadi insiden penembakan seorang karyawan/pekerja hingga melukainya di punggung oleh orang tak dikenal (OTK) setelah sebelumnya juga terjadi penembakan hingga menewaskan salah seorang anggota Partai Aceh (PA) bersama rekannya, juga oleh orang tak dikenal. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa dua daerah tersebut masih sangat rawan? Mengapa Pemerintah, khususnya aparat keamanan terkesan hanya bertindak sebagai penonton atau pemadam kebakaran?
Sahabat yang budiman,
Persamaan Papua dan Aceh adalah keduanya merupakan daerah yang sangat kaya akan hasil tambang dan mineral. Namun kekayaan tersebut tidak berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di kedua daerah itu. Hal ini terjadi karena proses panjang kepemimpinan yang otoriter di masa lalu yang mulai secara bertahap diperbaiki di masa sekarang, meskipun sudah agak terlambat. Persamaan lainnya adalah, kedua daerah itu merupakan daerah konflik vertikal dimana Papua dengan organisasi Papua Merdeka (OPM) kerap kali melakukan tindakan-tindakan perlawanan terhadap kedaulatan RI baik di dalam maupun di luar negeri. Sementara itu, Aceh sendiri merupakan "bekas" daerah konflik yang masih terus berkonflik meskipun saat ini masih secara lokal internal namun sangat dimungkinkan konflik yang terjadi akan semakin meluas dengan banyaknya kepentingan yang bermain di wilayah tersebut.
Berbicara kepentingan, kedua daerah kaya di ujung sebelah Timur dan Barat Indonesia tersebut, menjadi daya tarik tersendiri bagi negara-negara asing untuk ikut "mencicipi" kekayaan yang ada, kalau perlu ikut menikmati. Prosesnya tentu dengan upaya-upaya managing the conflict melalui upaya clandestine pada organisasi-organisasi perlawanan yang ada di daerah tersebut. Sebagai contoh, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) secara intens dan gradual berkomunikasi rapat dengan LSM-LSM asing di Inggris, Australia maupun Amerika Serikat, dengan sejumlah dana yang besar LSM-LSM asing tersebut menjadikan KNPB sebagai corong kepentingan negaranya. Lalu pertanyaan kembali muncul, siapa yang men-supply LSM-LSM asing tersebut? menurut saya, keterlibatan negara dalam hal ini sangatlah kental, fakta menyebutkan, badan intelijen AS, CIA memiliki lebih dari 10.000 Non Government Organization (NGO) yang tersebar di seluruh dunia dalam berbagai bidang. Organisasi-organisasi "hantu" bentukan ini menyebar dengan membawa "pesan" kepentingan negaranya.
Bagaimana dengan di Aceh?
Aceh pun tidak luput untuk dijadikan sasaran tembak dari kepentingan asing yang sejak lama bermain di Serambi Mekah. Berbagai perusahaan asing seperti Chefron dan Exxon Mobile menyedot minyak dan gas alam di Aceh secara bertahap namun pasti tanpa memberikan kontribusi yang seimbang terhadap rakyat Aceh, kecuali pada para elit partai maupun pemerintahan saja. Dalam bidang politik dan keamanan sendiri, partai lokal terbesar di Aceh, PA pun mengawali jalinan komunikasinya dengan CIA melalui agen terselubungnya di Kedubes AS Vincent Cooper yang berkunjung ke Kantor PA beberapa waktu lalu menjelang pemilukada Aceh. Kunjungan tersebut membuktikan besarnya peran AS dalam kemenangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dari partai Aceh. Sebab logikanya, apabila ingin melakukan kunjungan yang bersifat resmi, mengapa Vincent Cooper hanya berkunjung ke salah satu kandidat saja, bukan kepada 5 kandidat calon gubernur Aceh? Sinyalemen dukungan AS atas partai Aceh pun mulai tampak terlihat, demikian juga dengan disain kemenangan bagi calon dari partai Aceh, meskipun disadari dan menjadi fakta yang sangat jelas bahwa kemenangan PA diperoleh melalui jalan yang tidak fair dan sangat intimidatif. Bagi AS sendiri, Aceh sangat penting dalam mendukung grand strategy nya di Asia pasifik dengan sasaran penguasaan atas Sabang sebagai pintu masuk Selat Malaka. Tentu hal itu sangat mungkin terjadi apabila Wali naggroe dengan kewenangannya yang absolut benar-benar terwujud.
Dimanakah Pemerintah?
Bagi saya, pada era reformasi ini pemerintah telah salah dalam meletakkan landasan dan pijakan dalam berdemokrasi. Pemerintah terlena dengan buaian indahnya senandung puja-puji internasional akan keindahan demokrasi di Indonesia. Kemunafikan inilah yang telah menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang kemiskinan, kebodohan dan kekacauan. Pemerintah dan aparat keamanan miskin dalam antisipasi dan bahkan cenderung bertindak sebagai penonton dan pemadam kebakaran yang mana seharusnya Pemerintah memliki otoritas penuh dalam mempertahankan kedaulatan negara ini dengan menjaga kepentingan-kepentingan nasionalnya dimanapun berada. Pasca jatuhnya perekonomian AS dan Eropa, semua negara melakukan langkah-langkah proteksi terhadap berbagai komoditas maupun kekayaan alamnya, terhadap "serangan" produk-produk negara yang tengah berkembang pesat seperti Brazil, Rusia, India dan Cina (BRIC). Kenapa kita justru membukanya lebar-lebar? Ini juga yang terjadi dalam hal keamanan dan pertahanan negara yang terkoyak-koyak oleh infiltrasi asing yang memanfaatkan "boneka-boneka bentukan" seperti KNPB dan Partai Aceh.
Sahabat yang budiman,
Demokrasi diyakini sebagai sistem terbaik yang pernah ada di dunia karena menjamin kesetaraan, persamaan, keadilan dan kebersamaan dalam sebuah negara, sehingga mencegah terjadinya sebuah pemerintahan yang absolut dan sewenang-wenang. Tetapi, demokrasi yang ada juga harus disesuaikan dengan kultur yang berlaku bagi rakyat Indonesia dari ujung Barat Sabang, Aceh, hingga ujung Timur, Merauke Papua. Demokrasi yang Indonesia, demokrasi Pancasila yang menghargai dan menghormati berbagai perbedaan yang ada. Indonesia dan AS adalah sama-sama "negara dan bangsa bentukan" yang berisikan berbagai etnis dan budaya. Orang AS sangat bangga dengan "keamerikaannya", sebagaimana saya baca dalam newsweek mengenai Duta Besar AS untuk Cina, Gary Locke seorang etnis Cina-Amerika, meskipun ia sebagai duta besar di negara nenek moyangnya, dengan bangga dia tetap menyebut "I'm American, not Chinese". Papua dan Aceh akan selalu rawan dan tidak nyaman untuk ditinggali, atau dijadikan tempat untuk hidup sepanjang pemerintah dan rakyat tidak saling menghormati berbagai perbedaan yang ada. Indonesia ibarat sebuah rumah, yang di dalamnya berisikan orang-orang dari berbagai etnis dan budaya, namun apabila semuanya memiliki kesepahaman dan komitmen yang sama sebagai Indonesia, maka tidak ada lagi orang yang berbicara, "saya bangsa Aceh", atau " saya bangsa Papua" namun yang ada hanyalah "saya Indonesia".