Lihat ke Halaman Asli

Antara Kekuasaan Absolut dan Kearifan Demokrasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sahabat yang Budiman,

Berkaca pada tahun 2011 lalu, dunia tampaknya sedang dihadapkan pada keadaan yang tidak menentu. Instabilitas politik dan ekonomi terjadi dimana-mana yang berakibat pada meluasnya kesengsaraan dan penderitaan, tingginya angka pengangguran hingga meningkatkan inflasi yang berakibat pada bertambahnya tingkat kemiskinan rakyat jelata. Di kawasan Afrika dan Timur Tengah, tuntutan atas adanya perubahan politik negara juga terus mengemuka, dimana rakyat meminta kembali hak-hak mereka yang telah dirampas selama puluhan tahun oleh rezim berkuasa, mulai dari Mesir lalu ke Lybia dan selanjutnya Syria. Di kawasan Afrika tengah pun tidak lebih baik, dimana kelaparan dan kemiskinan masih menjadi isu penting di tengah perang saudara yang tak kunjung usai. Tahun lalu, kita melihat bagaimana seorang Pemimpin yang berkuasa lebih dari 3 dekade diarak, disiksa dan dibunuh oleh rakyatnya sendiri. Lalu, seorang Hosni Mubarak, Mantan Presiden Mesir harus menghadapi persidangan meskipun dalam keadaan sakit. Ingatan kita juga belum lepas bagaimana seorang Presiden Negara adikuasa AS George W. Bush mengakhiri kekuasaannya dengan dilempari sepatu saat berkunjung ke Iraq. Banyak hal buruk yang sangat mungkin terjadi terhadap seorang pemimpin dengan kekuasaan absolut yang apabila dianggap kepemimpinannya tidak berhasil, dan bahkan sarat dengan korupsi dan tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.


Sahabat,

Perubahan memang sedang terjadi dimana-mana. Di negeri tercinta ini, juga sedang terjadi perubahan yang cukup besar sejalan dengan meningkatnya kecerdasan masyarakat dalam menyikapi setiap persoalan yang berhubungan dengan hak-haknya sebagai warga negara. Korupsi, kolusi dan pembohongan publik serta berbagai skandal yang menyelimuti para elit politik negeri ini tentunya tidak terlepas dari mandulnya sebuah kepemimpinan. Saya menggarisbawahi kepemimpinan sebagai faktor tunggal dalam menjalankan sebuah amanah yaitu memimpin. Kemandulan seorang pemimpin akan semakin diperparah apabila sang pemimpin tidak saja memiliki nir-kapabilitas layaknya seorang pemimpin namun juga memiliki moral dan logika yang rendah dalam menjalankan kepemimpinannya. Sehingga pemimpin tersebut menjalankan kebijakan dengan semaunya, sesukanya hingga semena-mena. Di daerah-daerah lain di Indonesia seperti halnya Aceh yang pernah dilanda konflik selama puluhan tahun pun tidak terlepas dari situasi yang saya sebutkan di atas. Dengan kualitas moral yang rendah sebagai seorang pemimpin, kebijakan-kebijakan yang diambil selalu dalam kapasitas untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Membijaksanai keuangan negara melalui program-program pembangunan fiktif seperti program peningkatan sumber daya laut, lalu berkolusi dengan pengusaha dan kontraktor dalam pembukaan lahan hutan, dan bahkan mendanai berbagai upaya yang diarahkan untuk kepentingan politiknya agar terpilih kembali. Pemimpin seperti yang saya gambarkan tersebut menurut saya tidak layak disebut pemimpin pemerintahan, atau gubernur ataupun kepala daerah, tetapi lebih pantas dengan sebutan pemimpin gerombolan atau penyamun.

Apalagi, saat ini pasca kemenangan partai lokal terbesar di Aceh, praktis kekuasaan legislative dan eksekutif dipegang oleh para eks kombatan GAM ini. Target kekuasaan absolut di Aceh menjadi sangat dekat untuk dapat dicapai. Lembaga wali nanggroe yang semula merupakan lembaga adat dan pemersatu/symbol sebagaimana yang terdapat dalam kesultanan Yogyakarta beralih menjadi sebuah lembaga politik absolut dengan kewenangan yang tak terbatas. Lembaga ini dapat dengan mudah membubarkan parlemen yang merupakan perwakilan rakyat dan mencopot jabatan gubernur. Ini adalah pengangkangan terhadap aspirasi rakyat Aceh sebagai pemberi amanat tertinggi dalam demokrasi.

Dalam Islam, sebagaimana yang saya mengerti mengartikan amanah sebagai sebuah kepercayaan ataupun kejujuran. Oleh karenanya, kepercayaan yang diperoleh harus dijawab dengan kerja keras dan kejujuran. Waktu saya kecil, saya dan 2 saudara saya hidup dalam kesederhanaan. Sebagaimana layaknya orang-orang yang tinggal dan besar di Pulau Jawa bahwa hidup haruslah sederhana sudah menjadi kearifan lokal yang umum bagi masyarakat. Setelah saya dewasa, saya justru memiliki konsep sendiri tentang hidup, bahwa hidup haruslah hebat, atau lebih tepatnya kuat; powerful namun sikap dan tingkah lakulah yang seharusnya sederhana; earthy. Sahabat, seorang ayah berpesan kepada anaknya untuk memandanglah seperti langit dan bertindaklah seperti bumi. Langit dikenal dengan keluasannya, ketidakterbatasannya, semuanya dilindungi, dipayungi tanpa melihat dan memilih siapa yang harus dilindungi dan dipayungi. Namun berbeda halnya dengan bumi, dimana sarat dengan aturan yang ketat. Apa yang kita tanam maka itulah yang akan kita peroleh. Menanam pisang yaa hasilnya yaa pisang, bukan buah lain. Sehingga siapa yang korupsi akan dicaci maki dan siapa yang mengabdi maka akan dihormati. Kearifan lokal itulah yang menjadikan bangsa ini besar dan kuat serta mampu mengusir bangsa-bangsa besar dahulu kala. Kearifan dalam berdemokrasi itu juga yang seharusnya dimiliki dalam benak setiap elit Aceh untuk selalu teguh dalam memegang janji dan komitmen untuk mengedepankan kepentingan rakyat di atas nafsu kekuasaan.

Sahabat yang budiman,

Antara kekuasaan absolut dan kearifan demokrasi terdapat jurang pemisah yang sangat lebar dan dalam. Di satu pihak dipenuhi dengan niat dan tujuan yang tidak baik bahkan menyengsarakan rakyat dengan memperkaya diri sendiri dan di lain pihak dipenuhi dengan jiwa dan semangat memberikan pengabdian yang terbaik bagi rakyat. Itulah pilihan yang ada sekarang, semuanya kembali kepada para elit Aceh, apakah akan dibuat mulia atau gila oleh kekuasaan dan amanah yang diperolehnya? Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi para pemimpin yang saat ini sedang sesat dan keluar dari koridornya sebagai seorang pimpinan, untuk kembali lagi kepada fitrahnya sebagai pengemban amanah rakyat. Semoga.

Rafli Hasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline