[caption id="attachment_176198" align="aligncenter" width="300" caption="ALL POWER TENDS TO CORRUPT, ABSOLUTE POWER CORRUPTS ABSOLUTELY"][/caption] "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" -Lord Emerich Edward Dalberg Acton (1834-1902)-Perkembangan birokrasi yang dipengaruhi oleh tekanan deras arus globalisasi telah menciptakan peluang para birokrat untuk mencari celah mengambil keuntungan pribadi/kelompok dengan "mengakali" hukum dan peraturan demi pencapaian ambisi pribadinya. Keadaan ini terjadi dimana-mana, termasuk negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam bahkan dengan landasan syariat Islam sekalipun, fenomena ini seakan tidak terbendung.
Keadaan terkini dunia telah menunjukkan hal tersebut. Kita lihat bagaimana kekuasaan absolut Saddam Husein berakhir, juga dengan Moammar Khaddafi di Lybia. Betapa para birokrat tersebut di masa kepemimpinannya memiliki kekuasaan yang tak terbatas, menjangkau segala kepentingan dan berdiri di atas semua golongan dan berkuasa penuh atas segala hal yang diinginkannya. Bentuk kekuasaan absolut memang telah ada sejak lama, yang berfokus pada satu kepemimpinan terpusat yaitu raja, kaisar ataupun bahkan wali negara. Dengan kewenangan yang tak terbatas, seorang raja/kaisar/wali negara dengan bebas dan sesuka hati dapat menentukan dan mengarahkan haluan negara sesuai dengan yang diinginkannya. Sistem yang dirasakan sangat jauh dari rasa keadilan tersebut memicu aksi-aksi perlawanan seperti perlawanan buruh di Rusia yang menjatuhkan kekuasaan absolut Tsar Nicholas II, juga yang terjadi di tempat-tempat lainnya seperti Perancis dan Cina yang mengawali perjalanan baru sistem demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai sang pemberi amanah.
Di tengah "ketidakpopuleran" sistem kekuasaan absolut di dunia, di ujung sebelah barat Indonesia, atau Aceh tepatnya, pemerintahan daerah yang baru justru merencanakan untuk membangun sebuah lembaga yang bersifat absolut, yaitu Lembaga Wali Nanggroe yang akan dikukuhkan melalui sebuah qanun tentangnya. memang pembentukan lembaga Wali nanggroe adalah bagian dari kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM melalui MoU Helsinki sesuai dengan ayat 1.1.7 MoU Helsinki. Namun demikian dalam draft qanun Wali Nanggroe yang dibuat oleh Komisi A DPRA dan sempat diajukan dalam rapat paripurna dengan pemerintahan Aceh, kewenangan yang dimiliki lembaga ini menunjukkan adanya kewenangan yang absolut hingga berada di atas semua lembaga yang ada di Aceh bahkan lebih tinggi dari rakyat Aceh sekalipun. [caption id="attachment_176208" align="alignnone" width="556" caption="DRAFT KEWENANGAN LEMBAGA WALI NANGGROE"]
[/caption]
Dalam draft tersebut, saya tidak lagi membahas poin d,e dan f karena pernah saya bahas sebelumnya dalam forum ini (http://politik.kompasiana.com/2012/04/27/ada-bau-busuk-di-tengah-upaya-go-internasional-aceh/)
Yang akan saya bahas berikut ini adalah pada poin j, dimana lembaga wali nanggroe berhak menentukan Aceh dalam keadaan bahaya dan bencana, sebuah kewenangan yang hanya dimiliki oleh Presiden Republik Indonesia beserta DPR RI. Urgenitas ancaman yang datang ke Aceh tentunya ancaman terhadap NKRI sehingga saya melihat tidak perlu sebuah lembaga adat menentukan Aceh dalam keadaan bahaya. Banyak elemen dan spektrum yang perlu ditinjau sebelum pengambilan keputusan tersebut. Seperti pengaruh internasional, Aceh tidak memiliki kewenangan dalam mengatur dan menjadlin hubungan internasional kecuali dalam hal bisnis dan investasi. Jalinan kerjasama internasional yang dilakukan masih berpedoman pada UU RI dan keppres 108 dimana semua kerjasama dilakukan melalui mekanisme satu pintu yaitu Kementerian Luar Negeri. Selanjutnya, dalam menentukan keadaan bahaya juga perlu dilihat kesiapan angkatan bersenjata dan elemen pendukung, Presiden RI adalah Panglima tertinggi angkatan bersenjata Indonesia sehingga setiap keputusan yang diambil selalu terkait dengan Panglima TNI. Wali nanggroe tidak berada di atas panglima TNI sehingga poin j sampai dengan m sangat tidak masuk akal.
Berikutnya, pada poin n, dimana lembaga ini memiliki kewenangan untuk membubarkan DPRA/parlemen karena sesuatu hal. Ini adalah ciri dari kekuasan absolut sehingga berada di atas semua kepentingan termasuk kepentingan rakyat. Salah satu ciri negara demokrasi adalah kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat yang diamanahkan melalui parlemen yang dipilih melalui proses pilkada. Kewenangan ini akan sangat terasa sangat rawan, di kala Sang Wali Nanggroe bertentangan/berbeda pendapat/prinsip dengan DPRA, maka dengan dasar qanun tersebut Wali Nanggroe dapat dengan bebas membubarkan DPRA yang merupakan satu-satunya lembaga yang mewakili rakyat Aceh.
Selanjutnya, pada poin o, Lembaga ini juga memiliki kewenangan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan yang dipilh oleh rakyat Aceh sendiri. Coba kita bayangkan, pasangan ZIKIR yang dipilih oleh lebih dari setengah dari jumlah rakyat Aceh harus kehilangan amanahnya karena lembaga Wali Nanggroe karena sesuatu hal? lalu apa artinya pemilukada maupun lembaga-lembaga yang ada di pemerintahan Aceh?
Menurut saya, perlu adanya ratifikasi MoU maupun evaluasi mendalam terkait persoalan MoU dan kelembagaan wali nanggroe ini. Memang perlu dipahami, saat penandatanganan MoU, suasana batin sangat dipenuhi oleh semangat perdamaian di antara kedua belah pihak sehingga melupakan hal-hal detail yang bersifat "karet" yang dapat menimbulkan konflik di kemudian hari. Bagi saya pribadi, Lembaga Wali Nanggroe seharusnya ditempatkan sebagai simbol pemersatu dan perekat antar lembaga yang ada di Aceh juga sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa-fatwa hukum yang didasarkan oleh syariat Islam yang menjamin perdamaian dan persatuan bagi Aceh, tanpa mengurangi dan memasung hak-hak rakyat Aceh sebagai manusia merdeka.
Akhir kata, pernyataan di atas patut direnungkan oleh semua pihak yang berkepentingan di Aceh.
"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely"