Lihat ke Halaman Asli

Strategi AS di Asia Pasifik: Aceh adalah Prioritas

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13366235371423283936

[caption id="attachment_176398" align="alignnone" width="592" caption="Sabang, Aceh prioritas sasaran strategi AS di Asia Tenggara"][/caption]

Situasi keamanan di Kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara semakin memanas, terutama dengan peningkatan aktifitas Cina dalam menunjukkan dominasinya di kawasan tersebut. Perkembangan terkini menunjukkan ketegangan Cina dan Filipina semakin panas setelah klaim keduanya atas kedaulatan Scarborough Shoal yang terletak sekitar 200 mil laut (370,4 km) dari Filipina di kawasan laut Cina Selatan. Filipina menyatakan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Zone Economy Exclusive (ZEE) negaranya, sementara Cina telah mengklaim wilayah tersebut sejak tahun 1930an dengan menyebut daerah itu Pulau Huangyang. Imbangan kekuatan Cina di kawasan Asia Tenggara memang hampir dikatakan tidak ada, dari sudut pandang apapun, jumlah penduduk, ekonomi apalagi militer. Sementara itu, AS yang tengah mengalihkan kebijakan geostrateginya di kawasan Asia Pasifik juga memiliki posisi yang cukup lemah di kawasan Asia Tenggara setelah 2 pangkalan militernya di Filipina dibekukan. Oleh karenanya, kerjasama dengan wilayah/daerah-daerah yang bernilai strategis di kawasan tersebut menjadi prioritas bagi AS untuk dilakukan, dan "penguasaan" Aceh adalah menjadi bagian strategi AS di masa depan.

Pada waktu Presiden Obama melakukan lawatan perdananya ke Indonesia, secara tegas Obama menyatakan betapa strategisnya posisi Indonesia secara geografis. Pernyataan geopolitis yang disampaikan dalam pidato "Pulang Kampung" Obama tersebut, berhasil menarik kalangan akademis dan birokrasi Indonesia saat itu. Lalu pada November 2011 yang lalu, AS menempatkan 2.500 Marinir AS di Darwin Australia sebagai "first leap of the strategy" untuk mendekati sasaran yang sebenarnya di kawasan Asia Tenggara yang dimulai dari kawasan Oceania dengan entitas tunggalnya, Australia sebagai sekutu AS di kawasan. Pejabat Indonesia sempat mengkritik penempatan marinir tersebut sebagai strategi AS dalam upaya "mengamankan" Papua, menjelang berakhirnya kontrak karya Freeport 2014 mendatang. Dugaan tersebut tentunya dibantah oleh Pejabat AS dengan alasan "melindungi kepentingan" AS di kawasan.

Selanjutnya, demi mencegah dominasi Cina di Kawasan Asia Tenggara, AS mulai "melirik" Aceh sebagai pintu gerbang kawasan yang dikenal bernilai sangat strategis sejak lama yaitu Selat Malaka. Selat Malaka disebutkan sebagai jalur paling ramai di kawasan Asia Pasifik karena merupakan satu-satunya pintu masuk bagi berbagai macam supply energi maupun barang manufaktur perdagangan dari kawasan Timur Tengah, Afrika dan Asia Barat, bahkan Eropa. Jalur ini juga bernilaisangat penting bagi Negara-negara yang berada di kawasan Asia Timur, seperti Cina, Jepang dan Korea. Sebagai contoh, 90% supply energi Jepang yang berasal dari Timur Tengah melewati jalur ini. Selain daripada itu, Selat Malaka adalah satu-satunya jalur laut terpintas menuju Laut Cina Selatan, kawasan yang dikenal kaya akan sumber daya alam migas sekaligus kawasan paling ramai karena dikelilingi setidaknya lebih dari 10 negara Asia Tenggara dan Cina serta state actor lain yang berkepentingan besar di kawasan tersebut, yaitu Amerika Serikat.

Oleh karenanya, menjadikan Aceh sebagai prioritas strategis AS di masa datang menjadi suatu keharusan sejalan dengan kebijakan AS di bawah kepemimpinan Obama. Dengan "terkuasai" nya Sabang, Aceh maka AS dapat menempatkan kapal-kapal perangnya di Selat Malaka dan dapat dengan cepat bergerak menuju Laut Cina Selatan untuk "melindungi kepentingannya". Hal ini sangat mungkin terjadi, setelah melihat perkembangan Aceh terkini dimana menjelang pemilukada Aceh yang lalu, AS melalui kedutaannya telah mengutus Vincent Cooper, Asisten Keamanan Regional AS yang juga merupakan anggota CIA dengan menunjukkan "perhatian" yang begitu special kepada salah satu kandidat Gubernur asal Partai Aceh yang memang akhirnya memenangkan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Kalau memang tidak ada maksud tertentu, kenapa hanya kandidat dari Partai Aceh yang menerima kunjungan tersebut? Demikian pula setelah kemenangan pasangan ZIKIR, road show dilakukan oleh Gubernur dan Pemangku Wali ke kedutaan-kedutaan besar di Jakarta dimana di antaranya Kedutaan AS. Apakah pemimpin terpilih Aceh nantinya akan menjadi "corong-corong" kepentingan yang dibawa oleh AS yang gemar memberikan buaian mimpi kekayaan dan kekuasaan?

Sahabat yang budiman,

Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari akan masa depan bangsa ini apabila para pemimpinnya tidak lagi menjadi penyambung lidah oleh rakyatnya sendiri, melainkan oleh bangsa lain dengan membawa kepentingan yang sebenarnya hanya diprioritaskan pada kepentingannya sendiri. Aceh dalam harapan saya dapat mandiri dalam mensejahterakan rakyat Aceh tanpa harus "meminta-minta" bantuan dari bangsa lain karena segalanya Aceh sudah punya, alam yang kaya, kultur dan budaya yang islami. Namun Aceh akan juga dapat tenggelam apabila para pemimpinnya salah dan tidak jeli dalam menilai kepentingan-kepentingan yang bermain di kawasan Asia Pasifik sehingga terjebak dalam skenario asing yang telah banyak memakan korban seperti Mesir, Suriah, Lybia dan mudah-mudahan bukan Aceh yang berikutnya.

Wassalam.,

Rafli Hasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline