[caption id="attachment_317883" align="aligncenter" width="674" caption="Sumber: http://www.nytimes.com/interactive/2014/06/11/world/middleeast/isis-control-map.html?_r=0"][/caption]
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menjadi pembicaraan dan isu penting belakangan ini setelah video youtube pemuda asal Indonesia yang mengaku bernama Abu Muhammad Al Indonesia ini menyampaikan pesan kepada seluruh muslim di dunia khususnya di Indonesia untuk bersama-sama berjihad. Sebelumnya majalah TIME juga mengabarkan keterlibatan orang-orang Indonesia dalam organisasi jihad ini (http://time.com/2888423/isis-islamist-state-in-iraq-and-syria-indonesia/). Disebutkan bahwa orang-orang yang bergabung dalam ISIS bukanlah orang-orang muslim asal Usbek maupun kawasan Timur Tengah melainkan asal Indonesia.
Sebenarnya, ISIS sendiri merupakan unrecognized state (pemerintahan yang tak dikenal) dan lebih dikenal sebagai grup Jihad yang mulai berdiri sejak pertengahan tahun ini di bawah kepemimpinan Abu Bakar Al Baghdadi yang memproklamirkan berdirinya Kekalifahan yang menguasai seluruh muslim di dunia.
[caption id="attachment_317890" align="alignnone" width="250" caption="Pernyataan Khalifah Ibrahim. Sumber: http://www.dailymail.co.uk/news/article-2674736/ISIS-militants-declare-formation-caliphate-Syria-Iraq-demand-Muslims-world-swear-allegiance.html"]
[/caption]
Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam Joko Suyanto menyatakan secara tegas penolakannya atas berkembangnya paham ISIS di Indonesia karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, NKRI maupun kebhinnekaan. Namun demikian, persoalannya adalah ISIS melihat bahwa Indonesia merupakan potensi besar bagi perkembangan ideologi dan organisasinya. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, dengan wilayah terluas di kawasan Asia Tenggara dan posisi yang strategis serta sejarah Negara Islam Indonesia (NII) yang sempat berkembang menjadikan alasan ISIS menaruh perhatian besar kepada Indonesia.
Sementara itu, perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia yang positif sejauh ini, ternyata memiliki celah yang cukup besar untuk berkembangnya ideologi-ideologi baru termasuk di antaranya ISIS. Sejarah berdirinya NII di Indonesia pun tidak dapat dianggap sebelah mata, meskipun ujud fisiknya sudah tidak kelihatan namun ideologi yang berkembang terus menerus muncul dan hidup di tengah masyarakat. NII yang didirikan oleh Maridjan Kartosuwiryo 65 tahun lalu di Tasikmalaya Jawa Barat, dalam sejarahnya berkembang cukup luas hingga ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Aceh. Meskipun dalam perkembangannya gerakan ini sudah padam, namun ideologi dan militansi Islam garis keras belum terlalu lama meredup dari daerah paling barat Indonesia, Aceh.
Secara geografis, sebutan Serambi Mekah bagi Aceh sejak lama sudah menunjukan betapa Aceh merupakan gerbang utama berbagai ideologi masuk dari Kawasan Timur Tengah. Keberadaan Selat Malaka yang menjadi jalur luat paling populer di kawasan Asia Tenggara menjadikan Aceh memiliki potensi menjadi pelabuhan paling ramai di dunia. Posisi yang strategis ini tentu saja menarik perhatian global, tentunya juga dengan ISIS. Kelemahan pengawasan kawasan perairan nasional, keterbatasan jumlah personel Angkatan Laut dan banyaknya tempat-tempat pendaratan yang sulit diawasi menjadi peluang-peluang yang mungkin dimanfaatkan oleh ISIS untuk masuk ke Indonesia melalui Aceh, sebagaimana mudahnya senjata-senjata ilegal masuk ke Aceh.
[caption id="attachment_317891" align="alignnone" width="700" caption="Sumber: http://3.bp.blogspot.com/-tEA65HiZXhM/UtSBR4a62MI/AAAAAAAAAbQ/p1Y8joOy1qc/s1600/silkroad.png"]
[/caption]
Selanjutnya, status Aceh sebagai daerah otonomi "super" khusus dalam wilayah Indonesia akibat kesepahaman damai Helsinki 2005 lalu, menjadikan Pemerintah Aceh memiliki beberapa kewenangan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Indonesia seperti; semua sektor yang berkaitan dengan masyarakat dan administrasi hukum seperti penerapan Syariah Islam di Aceh. Peluang ini tentu semakin memudahkan ISIS untuk melakukan infiltrasi mengingat pemerintah Aceh yang baru berdiri pasca kesepahaman damai tengah "belajar" berdemokrasi maupun berpolitik secara layak dan benar. Celah ini tentu dimanfaatkan, sebagaimana banyak daerah yang tengah "belajar" tentu kondisi ekonomi, politik dan sosial masyarakat yang labil menjadikan peluang besar bagi ISIS untuk datang dengan "cara yang berbeda" dengan memanfaatkan state actor-state actor yang sudah cukup dikenal di Aceh seperti Arab Saudi melalui uluran bantuan kemanusiaan, keuangan, ekonomi, pendirian sekolah-sekolah dsb. Bukan tidak mungkin bantuan-bantuan tersebut merupakan "cara berbeda" yang saya maksud. Sebagaimana diberitakan, terkait dengan ISIS, PM Iraq, Nouri Al Maliki menuduh Arab Saudi mendanai bantuan untuk ISIS (http://www.nbcnews.com/storyline/iraq-turmoil/iraq-cabinet-accuses-saudi-arabia-spurring-genocide-n133091).
Selanjutnya, kerentanan yang paling berat bagi Aceh adalah kondisi sosial masyarakat. Tingkat pendidikan yang cukup rendah dan bahkan paling rendah di Indonesia, angka pengangguran yang cukup tinggi (6,75 % menurut data BPS 2014), birokrasi pemerintah yang korup dan acak-acakan serta sistem kepemerintahan yang labil menjadi peluang terbesar ISIS untuk masuk ke Aceh. Kondisi birokrasi Aceh yang rentan tersebut, sebagian pun terjadi di Iraq saat ini, khususnya daerah-daerah yang menjadi titik kuat ISIS dimana pemerintahan, kepolisian dan organ-organ birokrasi lainnya lemah dan korup.
Melihat keadaan di atas, diharapkan pemerintah Indonesia betul-betul siap dalam menyiapkan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah infiltrasi dan berkembangnya paham ISIS di Indonesia. Tidak cukup hanya sekedar retorika dan teori belaka dengan bahasa-bahasa indah politisi, namun dengan langkah-langkah nyata. Salah satunya dengan menjadikan pembangunan pangkalan AL di ujung barat Indonesia sebagai prioritas sebagai kekuatan tangkal strategis. Selain daripada itu, pemantauan dan pengawasan menyeluruh terhadap sistem birokrasi di Aceh yang memang belum terbenahi secara utuh dan cenderung korup perlu dilakukan secara serius dengan menempatkan masyarakat dan media sebagai garda terdepan dalam pengawasan publik.