Panas matahari siang ini sebenarnya bisa membuat cucian basah di jemuran
kering dalam sekejap. Tapi Andika mengiyakan saja ajakan Ronald untuk
melihat Citra. Cewek itu sudah diincar Ronald sejak dua bulan lalu. Sayangnya,
Citra masih kelas tiga SMP, jadi Ronald belum mau PDKT. Ia menunggu Citra
masuk SMA.
Karena belum bisa PDKT itulah, selama ini Ronald hanya melihat Citra dari
jauh. Melihat, memperhatikan, mengamati. Kadang Ronald "mengantar"
cewek itu pulang. Mengantar dalam tanda kutip karena Citra tidak pernah tahu
ada cowok yang terkadang ikut naik bus yang ditumpanginya hanya karena
ingin melihatnya lebih lama.
Setiap kali habis nongkrong di sekolah Citra, besoknya pasti Ronald akan
bercerita panjang-lebar. Dan sering banget ceritanya itu nggak penting. Nggak
penting untuk orang yang ia paksa untuk mendengarkan. Dalam hal ini, Andika.
Misalnya..
"Citra itu manis banget, Dik. Mirip-mirip artis korea yang namanya Jang
Nara."
"Jang Nara?" Andika mengerutkan kening. "Yang mana ya?"
Meskipun petunjuk paling krusial yang bisa menggambarkan betapa
manisnya Citra ternyata tidak diketahui Andika, itu tidak menghalangi Ronald
terus menceritakan cewek gebetannya itu.
"Tu cewek kalo pake baju olahraga, cakep banget, Dik. Seksi. Imut!" puji
Ronald suatu hari dengan mata berbinar-binar.
"Imut apa seksi?" tanya Andika.
"Seksinya imut. Bukan seksi menggoda, gitu. Pokoknya manis deh. Sumpah!"
"Imut, seksi, apa manis nih? Yang jelas dong informasinya."
"Imut! Seksi! Manis!" tandas Ronald.
Info nggak penting lainnya...
"Citra kalo lagi keringatan, trus rambutnya berantakan, cakeeep banget!"
Lainya lagi, masih nggak penting juga..
"Kemarin dia olahraga pake biru-biru. Kaus biru sama celana pendek biru.
Ternyata cewek kalo pake biru, jadi keliatan cakep ya?"
Tapi pernah juga ada info yang penting. Penting untuk bahan renungan
Andika, bahwa jika suatu saat nanti dirinya jatuh cinta, ada kemungkinan akan
[27/2 21.41] R F Ramadhan: jadi gila juga, seperti sahabatnya itu. Isi infonya sendiri sih masih tetap nggak
penting.
"Namanya Citra Devi. Kelas tiga SMP. Pelajaran yang paling disenengin
biologi sama matematika. Warna favorit: biru. Olahraga favorit: nggak ada. Jadi
kalo lagi jam olahraga, tu cewek lebih sering nongkrong-nongkrong atau
ngisengin temen-temennya. Gue pernah merhatiin, main basketnya parah
banget. Main volinya kacau, dan main bulutangkisnya asal. Satu-satunya
olahraga yang dia jago cuma lari. Tu cewek cepet banget larinya. Apa karena
dia suka ngisengin orang ya? Jadi kudu bisa lari cepet biar nggak dijitakin rame-
rame."
Sejenak Ronald berhenti membaca catatannya. Ia tertawa geli.
"Makanan favorit, kalo yang berat: siomay sama bakso. Kalo yang enteng:
bakwan sama tahu isi. Sama kayak gue!" serunya kemudian dengan girang.
"Berarti kami jodoh!"
Andika mendengkus. "Cuma sama-sama seneng bakwan sama tahu isi aja
kok jodoh," gerutunya.
Tapi Ronald tidak peduli. Ia teruskan membaca catatannya.
"Kalo lagi belajar, senangnya sambil dengerin radio. Kalo nggak dengerin
radio, dia jadi ngantuk. Genre film yang dia senengin: roman komedi. Dia benci
banget film horor. Dia penggila komik Jepang. Dia pernah ngefans sama
Peterpan, tapi sekarang udah nggak lagi sejak Nidji muncul. Dia juga pernah
ngefans berat sama Aa Gym. Katanya, suara Aa tuh teduh. Bikin hati tenang.
Tapi sekarang, nggak deh. Makasih. Karena ternyata Aa penganut poligami.
Makanya Citra punya cita-cita pengin jadi menteri HAM atau menteri
pemberdayaan perempuan, biar punya kuasa bikin undang-undang agar suami
yang kawin lagi dipenjara aja."
Kepala Ronald menyembul dari sisi kertas yang sedang dibacanya, yang
selama ini menghalangi mukanya dari pandangan Andika.
"Feminis radikal. Gawat juga!" Ronald tertawa geli.
Andika ternganga. "Gimana caranya lo bisa dapat informasi-informasi itu?"
tanyanya takjub.
"Pokoknya gue tau," jawab Ronald pendek.
Banyak lagi info nggak penting tentang Citra yang selalu disampaikan Ronald
kepada Andika, yang terpaksa terus menyimak atas nama persahabatan.
Masalahnya adalah, saat detik-detik menjelang Citra tamat SMP ini, frekuensi
pengamatan Ronald semakin tinggi, dan frekuensi berceritanya semakin tinggi
lagi. Bahkan Ronald sama sekali tak peduli cerita itu baru saja diceritakannya
tadi pagi. Panjang-lebar pula.
[27/2 21.41] R F Ramadhan: "Ini rerun-nya," katanya kalem, sebodo amat sama tampang bete Andika.
Andika tahu Ronald merasa punya alasan kuat untuk memaksanya
mendengarkan semua cerita tentang Citra, karena alasan itu pernah
dikatakannya.
"Elo belum pernah tahu anaknya sih. Coba kalo lo udah tau, pasti lo ngerti
kenapa gue suka banget sama dia dan selalu pengin cerita tentang dia."
"Udah. Lo kan punya foto-fotonya. Biasa aja tuh."
"Kesannya pasti beda kalo lo udah ngeliat langsung."
Ronald memang menyimpan banyak foto Citra yang di shoot-nya secara
diam-diam. Untung foto-foto itu cuma disimpannya di kamar, nggak dibawa-
bawa. Karena menurut Andika, bawa-bawa foto cewek yang kita taksir atau
kita incer tapi masih belum ketahuan tu cewek naksir juga apa nggak, cuma
berlaku kalo kita ngincer artis. Jadi kalo ternyata ntar di tolak, ya biasa aja.
Nggak malu-maluin.
Makanya Andika berharap banget Ronald mengajaknya dalam pengamatan
Citra berikutnya. Supaya besok-besok kalau Ronald bercerita tentang Citra do
berapi-api dan bermenit-menit, dirinya tidak perlu mendengarkan keseluruhan
cerita. Cukup dua-tiga kalimat, kemudian bisa langsung di-cut "Gue udah
tauuu!"
Harapan Andika terkabul pagi ini. Mendadak Ronald mengajak sahabat
sekaligus teman sebangkunya itu menemaninya melihat Citra.
"Mau!" Andika langsung menjawab dengan nada sepeti akan diajak liburan
gratis ke Bali.
"Semangat amat sih lo?" Ronald jadi agak heran.
"Gue jadi penasaran. Kayak apa sih tu cewek? Soalnya elo ceritanya heboh
melulu," Andika menjawab sambil menyeringai lebar.
Begitu bel pulang berbunyi, mengabaikan panas matahari yang sudah
dijelaskan di awal cerita -bisa mengeringkan cucian basah dalam sekejap-
keduanya segera meninggalkan sekolah. Ronald takut Citra keburu pulang,
karena mereka masih harus naik bus kira-kira lima belas menit untuk sampai di
sekolah cewek itu.
Turun dari bus, Ronald langsung mengajak Andika ke taman yang ada di
depan sekolah Citra. Tidak berapa lama terdengar bunyi bel disusul siswa-siswa
berhamburan keluar dari pintu-pintu kelas. Ronald langsung gelisah. Lehernya
terjulur panjang. Sepasang matanya bergerak cepat, mencari-cari.
Tapi, sampai kerumunan cowok-cewek berseragam putih-biru itu berkurang,
terus berkurang, dan hingga akhirnya habis sama sekali ditelan bajaj, mobil
[27/2 21.42] R F Ramadhan: jemputan, mobil pribadi, atau menghilang di ujung-ujung jalan di kiri-kanan,
orang yang mereka tunggu-tunggu tidak kelihatan sama sekali. Muka Ronald
yang tadinya cerah langsung mendung pekat.
"Kok dia nggak ada, ya? Jangan-jangan nggak masuk."
Suaranya yang penuh semangat, berisik karena nggak berhenti ngoceh, kini
mendadak lemah. Jadi begitu kecewa. Begitu sedih, begitu gelisah, begitu
muram. Jadi patah semangat. Sebentar-sebentar Ronald menarik napas
panjang, bolak-balik mendecakkan lidah, bikin Andika menahan tawa.
"Ada pelajaran tambahan, Kali? Anak kelas tiga biasanya kan gitu?"
hiburnya.
"Oh, iya, iya." mendung di wajah Ronald seketika tersapu bersih. Wajah itu
jadi berseri-seri lagi.
Andika jadi menyesal sudah melontarkan kalimat itu, karena sampai satu
jam kemudian Citra masih belum juga kelihatan. Sementara panas matahari
yang teriknya bisa bikin kulit gosong itu kegarangannya belum juga berkurang.
Namun Ronald tetap segar bugar. Tatapannya masih tertuju lurus-lurus ke
bangunan sekolah di depannya. Masih penuh semangat dan harapan bisa
melihat cewek gebetannya. Sementara di sebelahnya, Andika nyaris kering
karena bete dan dehidrasi akut. Akhirnya cowok itu tidak sanggup lagi.
"Kita di sini sampai kapan nih? Ntar malem apa besok pagi?"
Ronald menoleh kaget. Langsung di rasakannya aura bete yang melingkupi
Andika sangat berbeda dengan aura cinta yang dirasakannya dari bangunan
sekolah di depannya. Ronald menyeringai, merasa bersalah karena telah
melupakan orang yang sedari tadi sudah menemaninya.
"Satu jam lagi deh. Kalo sampe satu jam lagi Citra belum nongol juga, berarti
dia emang nggak masuk."
"Satu jam lagi, ya?" Andika mengerutkan keningnya dalam-dalam. Pura-pura
berpikir. "Oke deh. Kayaknya pas."
"Apanya yang pas?" Ronald menatap sahabatnya itu dengan pandangan
heran.
"Tingkat ke-'kisut'-annya," jawab Andika enteng. Ia mengatakan itu sambil
senyum-senyum. Senyum sumir, singkat dan nggak jelas. "Karena satu jam lagi
kayaknya gue bakalan sekering mumi-mumi firaun Mesir kuno. Kalo lo tanya ke
orang yang lewat siapa yang mati duluan, gue apa firaun-firaun itu, pasti nggak
ada yang bisa jawab. Malah bisa jadi mereka nyangka yang ada di Mesir sana
itu muminya Ramses II, sementara yang di sebelah lo ini nih, muminya Ramses
I."
Sejenak Ronald ternganga, lalu tertawa geli.
[27/2 21.42] R F Ramadhan: "Bilang aja haus, gitu. Ribet amat sampe pake ke Mesir segala."
"Lagian, elo tuh emang nggak tau terima kasih banget, ya? Udah minta
ditemenin nyatronin gebetan pas panas abis kayak gini, gue dianggurin, lagi.
Nggak dijajanin sama sekali. Beliin es apa kek gitu. Biar gue nggak garing. Gue
udah dehidrasi banget nih."
"Iya, iya. Sori, Dik." Ronald merogoh saku kemeja sekolahnya.
Dikeluarkannya selembar lima ribuan lalu diberikannya pada Andika. "Nih."
Muka Andika jadi agak cerah. Ia bangkit berdiri dan segera berjalan menuju
warung makan. Tak lama ia kembali membawa dua kantong plastik berisi es
teh manis dan seplastik gorengan. Diulurkannya es teh bagian Ronald.
Karena perut sudah terisi dan adanya penangkal ancaman kekeringan,
Andika jadi tenang. Namun sampai batas waktu yang ditentukan Ronald sudah
habis, Citra belum juga kelihatan. Kali ini sepertinya dugaan Ronald benar. Citra
tidak masuk. Jam pulang sekolah sudah lama lewat dan tidak ada lagi siswa
yang keluar dari sekolah itu. Muka Ronald langsung mendung lagi. Lebih pekat
daripada tadi.
"Bener kan dia nggak masuk...," desahnya berat.
"Ya udah kalo gitu. Yuk, balik. Udah sore nih." Andika bangkit berdiri.
Dikibas-kibaskannya kaus olahraga yang sejak tadi ia gunakan untuk alas
duduk. Ronald mengikuti dengan ogah-ogahan.
"Kenapa tuh anak nggak masuk, ya? Jangan-jangan sakit?" desahnya,
suaranya begitu sarat dengan kecemasan.
"Mudah-mudahan aja nggak. Paling dia kecapekan gara-gara belajar diforsir.
Yuk, balik." Andika merangkul bahu Ronald lalu memaksa sahabatnya itu pergi
dari situ.Karena kemarin tidak berhasil melihat Citra, siang nanti Ronald berniat kembali
lagi ke sekolah cewek itu.
"Gue takut dia sakit," katanya. Bukan suaranya aja yang cemas, ekspresi
wajahnya juga. Seakan-akan mereka sudah saling kenal dan akrab pula. Andika
jadi menahan seringai geli yang sudah hampir tercetak di bibirnya.
"Biarin ajalah. Sakit juga ada ortunya ini."
"Emang kalo ada ortunya, trus gue nggak boleh kuatir, gitu?"
"Kuatir juga percuma. Orang kerjaan lo selama ini cuma ngeliatin doang."
Ronald jadi meringis.
"Iya sih. Tapi bolehkan gue nguatirin dia? Ntar ikut lagi nggak, Dik?"
"Ikut deh. Jadi penasaran."
Namun sesaat menjelang bel pulang berbunyi, mendadak turun hujan lebat.
"Jadi nggak, Ron? Ujan nih," bisik Andika, sambil tetap menyalin materi
pelajaran biologi ke buku catatannya.
"Jadi dong!" tandas Ronald juga sambil berbisik.
Dan begitu bel pulang berbunyi, beberapa gelintir siswa nekat menerobos
lebatnya hujan, termasuk Ronald dan Andika. Keduanya berlari cepat menuju
halte tidak jauh dari sekolah. Tapi ternyata hujan lebat tidak turun terlalu lama.
Ketika mereka turun di halte dekat sekolah Citra, hujan benar-benar sudah
berhenti. Menyisakan udara sejuk dan bau tanah basah.
Keduanya bergegas menuju taman di seberang sekolah Citra. Belum lama
keduanya berdua di depan pagar taman, terdengar bunyi bel dari gedung
sekolah Citra. Tak lama pintu-pintu kelas terbuka dan siswa-siswi berseragam
putih-biru berhamburan keluar dari sana. Kerumunan siswa itu kemudian
terhenti di trotoar depan sekolah. Hujan lebat tadi hanya sebentar, tapi cukup
membuat sisi jalan di depan sekolah Citra tergenang air.
Sebagian anak memilih jalan memutar, menghindari genangan. Sementara
sebagian lagi memilih menyusuri genangan itu dengan perlahan dan hati-hati,
di tempat yang paling dangkal.
Tiba-tiba orang yang mereka tunggu-tunggu sejak kemarin muncul.
Menyeruak di antara kerumunan. Ronald terpana. Sesaat ia cuma bisa
menatap Citra lurus-lurus, tanpa bicara.
Rambut Citra yang sedikit melewati bahu diikat ekor kuda. Ikatan yang asal-
asalan sehingga beberapa helai rambut terjun di pelipis dan tengkuknya.
Wajahnya juga seperti yang sering dilihat Ronald. Sedang tersenyum lebar atau
tertawa.
"Itu anaknya!" seru Ronald tertahan. Ditepuknya lengan Andika.
"Mana?" Andika langsung celingukan mencari-cari. "Yang rambutnya
dikuncir berantakan itu?"
"Iya. Gimana? Manis, kan?"
"Iya, manis," Andika terpaksa mengakui.
"Iya, kan?" sepasang mata Ronald yang terus menatap Citra semakin
berbinar."Tapi beda ya, sama yang di foto-foto? Berarti dia nggak fotogenik."
"Ah, nggak penting!" tandas Ronald. "Gue malah lebih seneng pose-pose
yang natural gitu. Nggak dibikin-bikin, nggak pake dandan-dandan dulu. Foto
cewek-cewek yang pada di close up itu tuh, sama aslinya bisa beda jauh
banget, tau! Menipu!" sambil bicara Ronald buru-buru mengeluarkan kamera
digital dari dalam tas.
"Ambil foto lagi?" Andika menatapnya heran. "Bukannya sudah satu amplop
cokelat? Penuh, lagi!"
"Ekspresi yang ini belum ada," jawab Ronald sambil menempatksn sasaran
bidik ke dalam frame. Andika geleng-geleng kepala.
Ronald menekan tombol kecil pada kamera digitalnya dua kali, kemudian
dengan puas memandangi hasilnya. Dimasukkannya kembali kamera itu ke tas,
dan perhatiannya segera kembali pada Citra.
"Tapi kayaknya tuh anak bandel, ya?" celetuk Andika.
"Iya, emang." Ronald terkekeh geli. "Nggak bandel sih. Cuma seneng
ngisengin orang. Kayaknya gue udah pernah cerita deh."
Baru saja kalimat Ronald selesai, Citra yang tadi berjalan tenang sambil
mengobrol dan tertawa-tawa bersama teman-temannya, dengan gerakan tiba-
tiba dan tak terduga, melompat ke genangan air hujan di depan trotoar
sekolah.
Seketika terdengar jeritan-jeritan keras, bersamaan dengan air kotor
bewarna kecoklatan yang memercik ke segala arah. Mendarat di baju seragam,
rok, sweater, tas dan semua benda yang berada tepat dijalur cipratannya.
"CITRA! INI BAJU MASIH MAU GUE PAKE SEKALI LAGI BESOK, TAU!"
"CITRA! GUE BISA ABIS DIOMELIN NYOKAP NIH!"
"CITRA! INI SERAGAM BARU BELI!!!"
Namun, jeritan-jeritan marah teman-temannya itu malah membuat Citra
tertawa geli, suaranya keras pula. Melihat itu Ronald jadi tertawa terbahak-
bahak. Ia memandang citra dan ulah nakalnya dengan sorot yang semakin jelas
memperlihatkan perasaannya.
"Lucu banget kan tu anak?" katanya pada Andika di sela tawa.
"Iseng banget, kali!" Andika geleng-geleng kepala. Tapi akhirnya dia juga
tidak bisa menahan tawa saat kemarahan teman-teman Citra malah membuat
keisengan Citra semakin menjadi-jadi.
Masih di atas genangan air kotor yang tadi dicipratkannya ke arah teman-
temannya, Citra kemudian berjoget-joget dalam berbagai macam gaya. Teman-
temannya semakin kesal dan akhirnya berusaha menangkapnya."Kita tangkep tuh si Citra, trus suruh dia yang nyuci. Enak aja!" seru salah
seorang anak. Citra langsung menghentikan pertunjukan jogetnya dan
melarikan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H