Imbalan demografis, kondisi di mana populasi usia kerja suatu negara melebihi penduduk yang tidak bekerja atau bergantung, telah lama dipandang memiliki potensi besar untuk pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini menimbulkan tantangan baru yang perlu ditanggapi dengan serius:
meningkatkan pengangguran. Artikel ini mengeksplorasi kontradiksi dengan keyakinan bahwa demografi pendapatan secara otomatis menciptakan pekerjaan yang cukup dan menganalisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya pengangguran di era pendapatan demografis.
1.Kurangnya sinkronisasi dengan kebutuhan pasar tenaga kerja:
Bonus demografi dapat diterjemahkan ke dalam tenaga kerja yang lebih muda, tetapi jika keterampilan yang dimiliki generasi ini tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, surplus ini akan sia-sia. . Masalahnya mungkin terletak pada program pendidikan yang tidak sesuai dengan persyaratan industri atau kurangnya kesempatan pelatihan kejuruan.
2. Pertumbuhan ekonomi yang lambat:
Peningkatan jumlah penduduk usia kerja dalam penghargaan demografi membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan untuk menciptakan lapangan kerja yang cukup. Namun, kenyataannya pertumbuhan ekonomi tidak selalu terjadi secepat yang diharapkan, bahkan bisa terhenti. Tanpa pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, surplus tenaga kerja yang diciptakan oleh bonus demografi dapat menjadi beban dan pengangguran dapat meningkat.
3. Restrukturisasi industri:
Bonus demografi juga dapat bertentangan dengan perubahan struktural dalam industri. Perkembangan teknologi dan otomatisasi dapat menggeser banyak pekerjaan manusia ke mesin dan algoritma. Jika pengembalian demografis tidak disertai dengan diversifikasi pekerjaan yang tepat, pengangguran akan meningkat seiring dengan penurunan pekerjaan tradisional.
4. Kesenjangan keterampilan:
Tidak semua pekerja muda memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengisi posisi yang tersedia. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya akses ke pendidikan berkualitas, pelatihan kejuruan, atau bahkan ketidaksesuaian antara kebutuhan pendidikan dan industri. Hal ini mengakibatkan lulusan menjadi pengangguran atau bekerja pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan pendidikannya.
5. Mobilitas pekerja terbatas: