Lihat ke Halaman Asli

Rafi

Pelajar

Penggunaan Self-Healing Concrete (SHC) di Konstruksi Bangunan

Diperbarui: 23 Oktober 2024   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tokopedia

Self-healing concrete adalah inovasi material konstruksi yang dirancang untuk memperbaiki retakan kecil pada beton secara otomatis tanpa memerlukan bantuan manusia. Concrete atau beton merupakan salah satu material konstruksi paling tahan lama, tetapi rentan terhadap retakan akibat beban struktural, perubahan suhu, dan kondisi lingkungan disekitarnya. Retakan kecil yang tidak segera diperbaiki bisa berkembang menjadi kerusakan serius, yang dapat mengurangi umur suatu bangunan dan dapat meningkatkan biaya pemeliharaan. Teknologi self-healing concrete bertujuan ini untuk mengatasi masalah  dengan memungkinkan beton memperbaiki retakan kecil secara sendiri tanpa bantuan dari manusia.


Pada self-healing concrete, salah satu jenis bakteri yang sering digunakan adalah bakteri Bacillus, khususnya  (juga dikenal sebagai Sporosarcina pasteurii). Bakteri ini memiliki kemampuan untuk memproduksi kalsium karbonat (CaCO), yang dapat menambal retakan kecil dalam beton. Untuk mendukung pertumbuhan bakteri, mereka memerlukan nutrisi yang biasanya dicampurkan dalam bentuk kapsul bersama dengan bakteri. Nutrisi yang digunakan sering kali adalah kalsium laktat, karena mudah dimetabolisme oleh bakteri untuk menghasilkan kalsium karbonat. Cara kerja bakteri ini ketika ada retakan di beton dan air masuk ke dalam, bakteri ini akan teraktivasi dan mulai mengkonsumsi nutrisi seperti kalsium laktat yang sudah dicampurkan sebelumnya ke dalam campuran beton. Melalui proses metabolism, bakteri mengendapkan kalsium karbonat kemudian mengisi retakan dan mengembalikan integritas struktural beton.

Kelebihan dari self-healing concrete adalah kemampuan untuk memperbaiki retakan kecil secara otomatis melalui proses biologis atau kimia, seperti halnya bakteri yang menghasilkan kalsium karbonat. Hal ini dapat memperpanjang umur dari suatu bangunan dan mengurangi frekuensi serta biaya perawatan. Concrete atau beton ini juga memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan seperti air dan korosi, sehingga memberikan stabilitas lebih lama pada bangunan. Selain itu, self-healing concrete berkontribusi pada keberlanjutan dengan mengurangi kebutuhan produksi beton baru, yang pada akhirnya mengurangi cetakan beton yang terbuat dari karbon. Namun, self-healing concrete juga memiliki beberapa kekurangan. Salah satu kekurangan utamanya adalah biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan beton biasa, karena penggunaan bahan dan proses yang lebih kompleks. Selain itu, self-healing concrete hanya efektif untuk memperbaiki keretakan kecil, sementara kerusakan besar masih memerlukan perbaikan secara manual. Proses penyembuhan pada self-healing concrete juga memerlukan waktu yang lumayan lama dan bisa lebih lambat tergantung pada kondisi lingkungan, terutama di daerah yang kering.

Jika dibandingkan antara beton biasa dengan beton yang bisa menyembuhkan sendiri memiliki perbedaan utama dalam hal daya tahan, biaya, dan perawatan. Beton biasa memiliki keunggulan dalam hal biaya awal dan kemudahan dalam penerapannya, namun memerlukan perawatan yang rutin dan rentan terhadap retakan yang dapat mempengaruhi kekuatan jangka panjang. Sebaliknya, beton penyembuh sendiri menawarkan kelebihan dalam hal daya tahan dan perbaikan secara sendiri yang dapat mengurangi kebutuhan perawatan dan meningkatkan umur bangunan, walaupu biayanya yang lebih tinggi dan penerapannya lebih rumit. Pengggunaan beton antara keduanya bergantung pada kebutuhan proyek, anggaran, dan lingkungan di mana beton akan digunakan.

DepoBeta

Metode kerja pembuatan self-healing concrete dimulai dengan pemilihan agen penyembuh, seperti bakteri Bacillus yang menghasilkan kalsium karbonat, mikrokapsul berisi bahan penyembuh, atau agen kimia berbasis silikat. Setelah itu, bahan dasar beton seperti semen, agregat, dan air disiapkan, dan agen penyembuh ditambahkan ke dalam campuran selama proses pencampuran. Campuran beton ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan agen penyembuh terdistribusi merata. Setelah pencampuran selesai, beton dicor ke dalam cetakan dengan cara yang sama seperti beton biasa, kemudian dipadatkan untuk menghilangkan rongga udara. Setelah dicor, beton melalui proses curing untuk mencapai kekuatan optimal, yang penting untuk menjaga aktivasi agen penyembuh. Jika retakan muncul, kelembapan atau air akan memicu agen self-healing untuk memperbaiki retakan, baik melalui produksi kalsium karbonat oleh bakteri atau pelepasan bahan dari mikrokapsul. Setelah itu, pemantauan secara berkala dilakukan untuk memastikan efektivitas penyembuhan dan menjaga kualitas struktur beton. Dengan metode ini, self-healing concrete dapat meningkatkan daya tahan bangunan dan mengurangi kebutuhan perawatan.

Self-Healing Concrete (SHC) ini masih dalam tahap penelitian oleh pusat penelitian di berbagai negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia akan terus melanjutkan eksplorasi self-healing concrete ini nantinya di konstruksi bangunan berkelanjutan. Tetapi ada satu Negara yang sudah menggunakan metode self-healing concrete ini untuk konstruksi jembatan untuk pejalan kaki di Amsterdam, Netherlands. Ini merupakan kontruksi pertama yang menggunakan metode self-healing concrete di dunia.

Material District.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline