Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rafiq

Bersahabat dengan Pikiran

Pandemi dan Silaturahmi Tanpa Ketupat

Diperbarui: 24 Mei 2020   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.viva.co.id

Ramadhan kali ini kita dikepung pandemi virus corona. Dengan penuh rasa ikhlas, kini momentum lebaran Idul Fitri 1442 Hijriah dirayakan berbeda dari biasanya. Tahun-tahun sebelumnya, perjumpaan menjadi momentum yang paling dinanti-nanti. 

Banyak di antara kita yang mungkin kesal mengapa pandemi ini belum juga hijrah dari bumi pertiwi. Bahkan, kita emosional ketika silatuhrami tidak lagi dianjurkan bertatap muka seperti lebaran sebelumnya. Jangankan bertatap muka, mudik saja harus tertunda karena alasan kemanusiaan. Tidak pernah terbayangkan situasi ini bakal terjadi. 

Memang tidak semua daerah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bagi yang tidak PSBB, ada kesempatan mudik menikmati hidangan silaturahmi bernama Ketupat. Ya, hidangan ini tidak lepas dari perayaan Idul Fitri. Lihat saja, setiap berkunjung ke rumah keluarga, selalu ada ketupat. Setelah satu sama lain bermaafan, ketupat merekatkan kembali relasi kekeluargaan. 

Ketupat bukan hanya sebuah makanan wajib idul Fitri. Filosofi ketupat menjadi refresentatif akan keberagaman nilai dan budaya yang berkembang di indonesia, khususnya umat islam.  Dalam filosofi Jawa, seperti dikutip dari Islamidia.com, ketupat Lebaran bukanlah sekedar hidangan khas Idul Fitri atau Lebaran, tetapi ketupat memiliki makna khusus. Makna dari gabungan dua penggalan suku kata KU dan PAT.

Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku Lepat artinya mengakui kesalahan, sedangkan Laku Papat artinya empat tindakan. Nah, agar lebih afdhol, ada tradisi sungkeman yang menjadi implementasi Ngaku Lepat atau mengakui kesalahan. 

Secara umum, tradisi dilakukan dengan cara bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon maaf. Ungkapan rasa maaf juga ditujukan kepada semua orang yang ditunjukkan saling bersalam-salaman sambil menikmati ketupat. Ini adalah silaturahmi paling berkesan di hari lebaran. 

Tapi, semua itu seketika berubah karena pandemi. Tradisi silaturahmi tergantikan dari manual menjadi virtual. Meski tidak semua melakukannya, tapi yang pasti sebagian umat Islam tidak menerima tamu karena alasan mencegah penyebaran virus. Para perantau yang tidak bisa pulang kampung alias mudik, terpaksa tidak bisa menikmati hidangan khas ini. 

Memang ketupat bukan syarat utama merekatkan relasi kemanusiaan, tapi silaturahmi idul Fitri terasa lengkap kalau ada ketupat. Apalagi dimakan bersama opor ayam, rendang, atau jenis makanan lainnya. Lalu, minumnya kopi, teh atau minuman lainnya. 

Merekatkan tali silaturahmi antar sesama bisa dilakukan berbagai cara. Ditengah ancaman pandemi virus corona, maka silaturahmi virtual menjadi pilihan. Meskipun ada analisis menilai teknologi menjadi faktor merosotnya budaya silaturahmi. 

Sekilas membaca keutamaan silaturahmi, ada banyak keutamaan di dalamnya. Secara garis besar, keutamaannya seperti diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, menjaga kerukunan, dan yang paling dinanti-nanti adalah melepas rindu bersama keluarga. 

Saatnya berfikir positif. Silaturahmi virtual bukanlah hal baru di era teknologi sekarang ini. Kita sudah melakukannya melalui diskusi online selama pandemi atau video call. Kondisi ini juga diperkuat laporan terbaru We Are Social tahun 2020. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline