Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rafiq

Bersahabat dengan Pikiran

Kemelut Perempuan dalam RUU Omnibus Law Ciptaker

Diperbarui: 7 Maret 2020   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

magdalene.co

Awan mendung mengitari langit Indonesia menandakan akan turunnya hujan deras. Masuknya musim penghujan mengancam daerah-daerah yang menjadi langganan banjir dan longsor. 

Setiap tahunnya, indisen jatuhnya korban akibat bencana menempatkan Indonesia berada pada sisi siaga mitigasi bencana. Betapa tidak, kota sekelas Jakarta tak luput dari masalah banjir. Kini, masalah itu telah terangkum dalam satu proposal politik.

Bobroknya drainase, sistem pengairan air, sampah berserakan di aliran sungai, hingga segudang faktor penyebab bencana tidak pernah terlesaikan dengan matang. Akibatnya, masyarakat menjadi korban atas semua masalah yang sedang terjadi.

Apa bedanya kemelut penanganan bencana dengan perempuan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja? Saat ini, pemerintah sedang berupaya tampil lebih resolutif terhadap semua masalah ketenagakerjaan. Sampai harus menyentuh ranah privasi, sebagaimana ketika Negara sibuk mengurusi 'kasur rakyatnya' daripada dapur pejabat korupsi. 

Miris pula, manakala sikap resolutif mengancam eksistensi perempuan. Padahal, kalau ingin berfikir lebih manusiawi, biarkan mereka mengurusi privasinya sendiri, sementara Negara menyediakan akses hukum agar mereka merasa Negara benar-benar hadir dalam kehidupan mereka.

Arus kritik dari banyak kalangan mengindikasikan RUU Omnibus Law Cipta Kerja bukan sebagai resolusi atas masalah ketenagakerjaan. Manusia dari belahan Negara manapun, menginginkan tercapainya masyarakat adil makmur. Walaupun skema dan pola regulasi berbeda-beda, tampaknya sesuai dengan geopolitiknya. Bagaimana dengan Indonesia? Tampak tidak ada satupun harapan bagi perempuan untuk hidup di Negara serba "Omnibus" ini.

Lihat saja, tidak hak khusus perempuan dalam "undang-undang sapu jagad" ini alias tidak ada pasal mengenai perempuan atau kata perempuan. Berbeda dengan muatan undang-undang nomor 13 tahun 2003, hak perempuan disebut normatif. 

Namun justru di RUU Omnibus Law Cipta Kerja menyajikan segudang ancaman bagi perempuan di ranah ketegakerjaan.  Tidak ada satupun argumentasi rasional berikut pasal-pasalnya yang memberikan akses hak bagi perempuan untuk cuti karena melahirkan, hamil dan haid.

Terlepas dari diskursus antara logika modal dan keuntungan, logika industri dan investasi maupun kerja reproduksi sebagai penopang produksi capital dalam sistem kerja produksi partiarki, negara mesti menyediakan kases peningkatan kualitas hidup perempuan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline