Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rafiq

Bersahabat dengan Pikiran

Agama Cinta untuk Milenial

Diperbarui: 12 November 2019   13:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

mediaindonesia.com

Pertautan agama dalam isu radikalisme hampir tak terbendung lagi. Pembicaraan kasus radikalisme seringkali mengaitkan wacana keagamaan, misalnya agama islam. Umat islam bercadar dan celana cingkrang paling banyak dibahas dalam konteks paling krusial ini. 

Kasus penikaman Menko Polhukam Wiranto terindifikasi dilakukan seorang perempuan bercadar dan pria bercelana cingkrang. Di negara yang paling sensitif dengan isu agama ini, paling mudah terprovokasi jika pemerintah berbicara soal radikalisme. 

Milenial sebagai kelompok moderat, tentu tidak langsung menjelang mentah-mentah. Paling tidak, generasi ini mempunyai pola berfikir yang baik menyikapi isu yang beredar. 

Generasi milenial merupakan mereka yang lahir pada tentang tahun 1980 sampai 1997. Generasi ini memiliki kecenderungan aktif di sosial media, karena didukung perkembangan media berbasis internet.  

Survei Alvara Research Center (2014), mengungkapkan mereka yang berusia 25-34 tahun, cenderung variatif dengan isu-isu seputar sosial politik, ekonomi dan agama. Dibandingkan dengan generasi yang lebih muda, rentang usia 15-24 tahun memiliki kecenderungan untuk membicarakan topik musik, film, olahraga dan teknologi.

Kesimpulannya, dalam komunikasi sosial, generasi milenial terhubung dengan media berbasis internet. Sosial media menjadi wadah mengakses seluruh informasi, termasuk isu keagamaan. 

Informasi peristiwa hingga ilmu pengetahuan teknis dapat diakses dengan cepat menggunakan internet. Mudahnya, hanya mengunjungi situs-situs seputar keagamaan dan menyimak ulasan para tokoh guna menjadi rujukan belajar secara cepat dan efektif. Dengan demikian, revolusi media sosial menjadi tumpuan bagi generasi Milenial untuk akselerasi skill dan wawasan. 

Namun, perlu ada kewaspadaan di balik revolusi media sosial. Terdapat celah yang bisa menjerumus generasi milenial pada pemikiran parsial dan tak substansi. Parahnya, akses cepat internet membuat generasi milenial hanya mempelajari agama sepenggal, tidak utuh dan mendalam. Pada akhirnya, mudah menghakimi, baik kepada para tokoh maupun seseorang yang dinilai dangkal dalam memahami agama. Ironisnya, hanya karena perbedaan sikap dan cara pandang soal agama, mudah terpecah belah. 

Belajar agama tanpa melalui sanad (jalur silsilah guru) menjadi kurang komprehensif. Perlu ada transfer gelombang spritual dan pengalaman. Semua itu tidak didapatkan dalam jangka waktu singkat di internet. Apalagi, ulasan yang bernuansa filsafat dan akademis, menelurkan guru pembimbing. 

Di samping celah bagi generasi ini untuk menguatkan landasan iman dan takwa, fitnah atas nama agama makin meraja lelah. Arus informasi sangat kuat mengalir di media sosial. Demikian provokasi yang dipublish melalui media abal-abal dengan dibumbui narasi yang menarik pembaca, mengancam eksistensi agama sebagai penembar cinta. 

Tanpa kecerdasan literasi, kejernihan berfikir, dan pondasi iman yang kuat, generasi ini akan sangat mudah menelan informasi palsu tanpa filter dan renungan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline