Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rafiq

Bersahabat dengan Pikiran

Jurnalis Bukan Pekerja Politik

Diperbarui: 12 Februari 2019   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Flickr.com


Senjakala jurnalis tak hanya angin lewat, setelah kemerdekan Indonesia diawali dari informasi di Radio dibalik lemari buku Sutan Syahrir tentang Jepang yang menyerah kepada negara sekutu. Jurnalis sebagai pemangku kepentingan publik sudah terlihat sejak awal menyiarkan berita-berita tentang situasi pada pra-kemerdekaan hingga saat ini.

Selama proses perjalanan sejarah bangsa Indonesia, jurnalis tetap konsisten menyiarkan apa sedang terjadi dimasyarakat dan pemerintahan. Tidak seperti Serikat Islam (SI), Muhammadiyah, NU, kelompok cipayung, dan organisasi gerakan lainnya menempatkan politik sebagai sarana untuk memerdekakan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, media tidak lagi seksi seperti dulu. Ketergantungan media terhadap perekonomian masyarakat merupakan fenomena yang perlu disikapi dengan bijaksana. 

Semakin tinggi daya beli informasi, bisa mempengaruhi kesejahteraan perusahaan pers. Kemudian ditopang dengan kualitas perusahaan makin menambah tingkat daya beli informasi. Keadaan ini menjadikan media tidak lagi murni sebagai sarana kepentingan publik, terutama jurnalis yang bekerja di perusahaan media.

Kondisi ini rentang intervensi politik. Fakta yang terjadi, banyak kalangan jurnalis bekerjasama dengan media untuk mendorong orang-orang tertentu agar bisa menang. 

Sekalipun harus menutupi segala keburukan dengan alasan 'masih ada kesempatan kedua'. Praktik imagologi membenarkan kerja-kerja tersebut, dimana citra lebih penting dari pada realitas atau citra mendahulukan realitas, meskipun realitas tersebut adalah kebenaran.

Di sisi lain, jurnalis juga ikut terjun ke dunia politik menjadi intelegen bagi golongan tertentu atau partai politik. Bahkan jurnalis dan media sebagai pemerintahan bayangan mengatur masyarakat lewat kecerdasan mengolah isu-isu pemerintahan. 

Segala kebijakan harus disaring dan ditemukan sisi positif kemudian dibalut dengan narasi indah, sehingga masyarakat tidak mengetahui ada kesalahan. Selama ini, hal positif itu lebih mendominasi daripada negatifnya.

kompasiana.com

Mencermati Pencabutan Remisi Susrama

Setelah membaca segala apa yang terjadi, kedudukan jurnalis tetaplah memiliki arti penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Kebebasan pers jadi hadiah paling bernilai dalam sejarah jurnalis di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, ancaman kekerasan terus berdatangan seperti sungai Gangga di India, mengalir tenang dan konsisten. Narenda Prabangsa, Wartawan Radal Bali hanyalah satu dari deretan kasus pembunuhan wartawan di negeri kaya raya ini.

Disela-sela peringantan Hari Pers Nasional (HPN) 2019 di Surabaya, Presiden Jokowi resmi mencabut Keputusan Presiden (Keppres) No 29 Tahun 2018 mengenai pemberian remisi kepada Nyoman Susrama, dalang di balik tewasnya Narendra Prabangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline