Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rafiq

Bersahabat dengan Pikiran

Cerpen | Secangkir Kopi yang Diambil

Diperbarui: 25 Oktober 2017   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://artsquest.ca

Sebulan lamanya, ia tergeletak lemas di atas kasur tua berukuran satu orang. Setelah pertengkaran lama, membuatnya hilang semangat. Sepanjang malam, yang dilakukan hanya menatap dinding tembok kamarnya berukuran 2,5 x 3,5 m. Sendu jadi kekasih paling setia menemani tidurnya, tidak ada kopi, tidak ada kehangatan.

Ia bergegas mencari secangkir kopi miliknya. Memasuki sebuah warung kopi (warkop) tepi pantai, tidak jauh dari tempat tinggalnya, memesan secangkir kopi. Ia berketetapan hati, harus menikmati secangkir kopi atau tetap kembali menatap dinding kamar seperti malam sebelumnya.

Membayangkan air berwarna hitam hangat itu diaduk-aduk dalam cangkir kecil hinggap di hadapannya, ini bukan kopi biasa, ini kopi penuh cerita. Semua orang dalam warkop terdiam dan berbisik satu salam lain, bertanya-tanya apakah benar-benar ia memesan kopi itu. 

Mereka terus berbisik, pura-pura tidak membicarakan dirinya. Mereka berbisik dengan bahasa mulut, namun diam-diam melirik, layaknya simulakra dengan segala kepalsuan.

Tempat itu memang bernama warkop, namun semenjak sebulan yang lalu ada seseorang datang ketempat itu. Mulai hari itulah, warkop tidak lagi menyediakan kopi. Karena kopi itu tersedia hanya satu.

"Kopi satu!" Teriak pelayan ke dapur, barista bergegas menuangkan kopi ke cangkir kecil.

Pelayan berbaju lengan panjang, celana jeans lengkap dengan tanda pengenal mengantarkan secangkir kopi.

"Akhirnya tiba juga pesanan ini," ia menyambut kopi itu, tapi sepertinya ini bukan kopi miliknya selama ini, "Ini kopi? Ini bukan kopi saya, ini hanya air hitam, bukan kopi saya."

Orang-orang memperhatikan kopi itu, apakah hanya ditatap saja, ataukah langsung meminumnya sekaligus layaknya orang dehidrasi lalu membuangkan ke lantai, seperti membuang segala sesuatu yang bukan menjadi harapan manusia.

Ia terus memperhatikan kopi itu, permukannya tampak berbeda laksana letusan gunung merapi Krakatau menggelapkan hampir seluruh dunia. Kopi itu memang hangat, tapi tidak seperti yang dipunyainya selama ini. Ini kopi sendu!!! Ia menyingkirkan secangkir kopi itu hingga jatuh ke lantai dan pecah. lantai itu menjadi becek, mereka bermain diatas lautan kopi, seperti anak kecil menginjak air becek.

"Mana kopiku," ia berjalan cepat menuju kasir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline