Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rafiq

Bersahabat dengan Pikiran

Ambal Politik

Diperbarui: 5 Mei 2017   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto saat debat kandidat pilkada Kabupaten Buol. FOTO: Dok. Polda Sulteng

Tulisan ini pernah dimuat di salah satu media harian, Sulteng Raya edisi 7 Februari 2017. Maksud tulisan ini dimuat kembali sekedar mengingatkan bagaimana situasi politik Kabupaten Buol saat itu.

Ambal, begitulah saya menyebutnya dalam bahasa buol. Makanan khas dari sagu ini sangat familiar dilidah masyarakat buol. Makanan dari sagu tersebut ada yang menyebutnya jepadan juga ambal.Bagi penulis, jepa lebih akrab pada suku bugis dan ambal adalah suku buol. Menyoal tentang Ambal, merupakan makanan khas Kabupaten Buol setenar dengan pitza hut. Bahkan agar terlihat lebih kekinian biasanya disebut pitza buol. 

Pembuatan ambal yakni dipanggang. Bedanya pitza dipanggang melalui oven, sedangkan ambal dipanggang menggunakan dudongean (sebutan bahasa buol) layaknya panci dan dandang. Hanya saja dudongean terbuat dari tanah liat dengan model seperti piring dengan ukuran bervariasi. Soal rasa tak kalah sebanding dengan makanan khas eropa.

Dengan begitu terampil, sang ahli mencapurkan garam, jeruk nipis, kunyit bubuk, bawang merah, bawang putih, batang kemangi, ikan teri diolah dengan sedemikian enak beserta sambal dari bahan-bahan tersebut. Kemudian ditaburi sagu di atas dudongean mengikut bahan-bahan yang sudah disiapkan lalu dipanggang diatas bara api/kayu bakar. Yang tak kalah penting harus dimakan saat masih panas dengan suasana angin sepoi-sepoi.  

Di sisi lain, ambal ibarat makhluk yang berpolitik. Dalam mewujudkan cita-cita bangsa tidak akan bisa tercapai tanpa berpolitik. demikian dengan ambal yang disajikan panas dan pedis demi mencapai kenikmatan rasa. Negara bisa disebut demokratis ketika berbagai suku, etnis, ras, dan agama berkumpul dan mewujudkan cita-cita politiknya. Tentunya politik yang diterapkan haruslah bernilai edukasi, bermoral, hingga melahirkan satu identitas politik di kabupaten buol.

Efek positif yang terjadi jika ini dilakukan pastinya akan menciptakan atmosfer toleransi dan keberagaman antar sesama masyarakat politik.

Sekitar Menjelang Pemilihan

Teringat dengan Pilkada tahun sebelumnya ketika Amirudin Rauf mengalahkan incumbent Amran Batalipu, saat itu terjadi pertarungan sengit merambat pada terjadinya kasus pembuangan dos berisi suara-suara Incumbent. Situasi tersebut kembali teringat menjelang Pilkada Buol Tahun 2017.

Tentunya pilkada serentak di kabupaten buol pada Tanggal 15 Februari 2017 adalah hari paling menentukan apakah salah satu kandidat yang maju kemudian akan memenangkan kursi 01 daerah ataukah legowo dengan hasil ada.

Menjelang hari paling menentukan, politik terlihat seram dan menegangkan antar lawan politik diruang-ruang diskusi, dialog, hingga media sosial tak luput dari persilatan ini. Kemajuan politik menandakan kebehasilan demokrasi.

Ragam fenomena ini penulis mencoba mengamati. Pertama, mengalahkan lawan, strategi menjatuhkan elektabilitas melalui rekayasa kasus - sosial dianggap strategy yang ampuh mengambil massa dari lawan kandidat. Kedua,Pendidikan politik masih jauh dari wujudnya.  Secara praktis kemerdekaan dikendalikan dengan adanya berbagai materi dan fasilitas demi menarik banyak suara.  Kedua, konsepsi pembangunan selalu lahir pada momentum politik. Ketiga,prinsip primordial selalu jadi patokan menentukan baik buruknya kandidat. Sesuai dengan kondisi persaingan ekonomi, tidak adalagi pertanyaan dan pernyataan yang bersifat primordial. Yang ada hanya kompetensi dan potensi yang memadai dalam memimpin satu daerah. Mestinya ini yang perlu disadari sehingga pembangunan disegala bidang termasuk politik dapat tercapai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline