Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rafiq

Bersahabat dengan Pikiran

Politisi Anti Korupsi, Emang Bisa?

Diperbarui: 5 Mei 2017   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum dan politik selalu menjadi pembahasan yang tak pernah ada habisnya, ibarat polemik antara harapan dan kenyataan yang tak pernah bertemu. Penguasa kadang memainkan peranannya kadang pula menyelewengkannya demi terpunuhinya kepentingan peribadi atau kelompok. Kata Yusril Ihza Mahendra, Kekacauan hukum diakibatkan hukum yang terlalu mencampuri urusan politik. Sehingga hukum tidak berjalan efektif dan kadangkala menjadi alat untuk menjegal dan memuluskan kepentingan yang ingin capai.

Masih terlintas di benak kita, tidak sedikit kasus-kasus hukum yang menjerat dua perangkat demokrasi kita yaitu politisi dan penegak hukum di Indonesia pada panggung reformasi. Mulai dari kasus korupsi, penyelahgunaan wewenang, hingga institusi terhormat (DPR) masuk dalam lingkaran permainan hukum. Hal ini menjadi perdebatan di masyarakat tentang siapa yang harus di percayai, politisi juga melanggar dan penegak hukum juga melanggar. Alhasil, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap politisi dan penegak hukum terus menurun.

Tegaknya hukum seringkali terhadang dengan drama politik para penguasa berwujud idealisme. Mereka seolah-olah menegakkan hukum yang sebenarnya, tapi malah menjadikannya sebagai senjata melawan musuh-musuh yang mencoba menghadang kepentingan politik penguasa. Bahkan, penegak hukum juga sudah terkooptasi dengan irama politik sehingga hukum didominasi oleh politik mengarahkan hukum sesuai kepentingan politik.

Hukum dan politik merupakan satu kesatuan subsistem masyarakat, untuk mewujudkan hukum yang efektif butuh politik, tapi disamping itu politik pula bisa merusak tatanan hukum. Politik dan hukum menurut Virgina Held (etika Moral, 1989: 106-123) dari sudut pandang etika dan moral melihat perbedaan diantara keduanya dari dasar pembenarannya.

Dasar pembenaran deontologis pada khususnya merupakan ciri dan layak bagi sistem hukum, sedangkan dasar pembenaran teleogis pada khususnya ciri dan layak bagi sistem politik. Argumentasi deontologis menilai suatu tindakan atas sifat hakekat dari tindakan yang bersangkutan, sedangkan argumentasi teleogis menilai suatu tindakan atas dasar konsekuensi tindakan tersebut. Apakah mendatangkan kebahagiaan atau menimbulkan penderitaan. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh konsekuensi yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat hakekat yang semestinya ada pada tindakan itu.

Hukum dan politik memberikan peluang kepada masyarakat memiliki kekuasaan yang dijalankan sesuai sifatnya. Teori sifat kekuasaan terggolong dalam dua kategori: organik dan mekanistik. Plato, Aristoteles, dan Burke merupakan representasi tipikal dari jenis sifat kekuasaan Organik, sementara, karya-karya para teoretisi kontrak sosial mewakili jenis sifat kekuasaan mekanistik. Pertama, teori organik berpandangan bahwa kesatuan politik tubuh dirunut dari predisposisi dalam manusia yang mendorongnya berasosiasi dengan orang lain. Sebagai makhluk rasional, manusia menyadari bahwa kekuasaanlah yang membuat hidup menjadi memungkinkan dan produktif bagi mereka. Kedua, Teori mekanistik cenderung untuk mengabaikan karakter sosial manusia dengan memandang kekuasaan sebagai sebuah lembaga artifisial yang didasarkan atas klaim-klaim individu. Teori ini menganggap kekuasaan hanya sebagai sarana atau mesin yang muncul sebagai akibat kesepakatan di antara individu yang ingin memuaskan keinginan-keinginan jangka pendek mereka dan yang tidak peduli dengan tujuan-tujuan bersama yang mencakup anggota-anggota lain dari kelompoknya.

Kedua teori tersebut, menurut penulis hukum menjadi pondasi terlaksananya kekuasaan. Hukum sebagai legalitas terhadap politik sehingga hukum bisa berjalan efektif di masyarakat. Sederhanya hukum sifatnya statis dan politik sifatnya dinamis. Hukum dan politik tidak hanya semestinya dijalankan berdasarkan asas-asas tetapi juga berdasarkan komitmen kolektif rakyat dan penguasa untuk benar-benar menjunjung tinggi hukum dengan penuh kewajiban tanpa ada paksaan. Tapi, terkadang asas-asas tersebut dicampur adukkan dengan kepentingan politik sehingga tidak jarang asas-asas hukum dimanupulasi dan disalahgunakan.

Hukum dan politik berjalan beriringan dan posisinya sejajar. Hukum bagian dari politik dan politik bagian dari hukum. Realitas menjadi objek keputusan politik, keputusan politik melahirkan hukum. Baik buruknya hukum tergantung bagaimana keputusan politik yang diambil dan baik buruknya politik tergantung bagaimana mengambil keputusan terhadap realitas dimasayarakat. Selain itu, kepatuhan ditempatkan pada hukum sebagai sumber nilai.

Soal Politisi Anti Korupsi

Saya cukup tercengan membaca dibeberapa pemberitaan terkait politisi anti korupsi. Kata ini ibarat binatang ampibi yang hidup di dua alam, dibilang hidup di air tapi bisa juga didarat, demikian sebaliknya.

Dalam hal ini, saya bisa mengatakan politisi anti korupsi yang impikan para pemikir politik adalah ngeyel. Institusi sekelas dewan mampu melahirkan para kader korupsi setiap generasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline