Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rafiq

Bersahabat dengan Pikiran

Menggugat Hukum Progresif

Diperbarui: 26 April 2017   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mempertautkan antara hu­kum dan kekua­saan agaknya menghimpit meremuk redamkanwacana keadilan, terutama berbi­cara soal kesejahteraan. Hukum tak ubahnyaseperti apa yang disebut Georgio Agamben sebagai citarasa pemikiran alapenguasa, bukan merupakan pemi­kiran yang sifatnya komu­nal. hukum progresifyang memuja responsivitas ter­ganggu dengan keadaan dominasi mayoritas ter­hadapmasyarakat yang rentan dengan kelompok miskin, difabel, perempuan, anak, buruh,petani, nela­yan, masyarakat adat, dan seterusnya.

Wacana penegakan hu­kum dalambeberapa waktu sebelumnya masih tercium harapan akan bangkitnya kalimat agungall men are equal by nature and before the law. Pada satu kalimat populis danhumanis "tidak selamanya hujan" kiranya benar bahwa perseteruantampak selalu ada seba­gaimana dalam referen­si-referensi bahwa konflikditempatkan sebagai ke­niscayaan. 

Tidak menutup kemungkinan penegakan hukummasih bersifat ada­gium ada pula yang realistis menjalankannya, meskidikemudian hari berka­muflase akibat pengaruh eksternal mengubah kesa­daranmanusia menjadi ma­nusia baru dalam persfektif ideologinya. Maka padakenyataannya situasi ini mengantarkan kita pada kebingungan. Pertama, ti­dakadanya penyelesaian hukum yang berujung pada pengendalian politik atas hukum.Kedua, terwujudnya hukum di tengah peraturan ideologi. Akan tetapi me­nujutepian hukum berubah karena tuntutan kewajiban dan instruksi otoritas ke­pentingan.

Mengingat kondisi saat ini,dalam internal hukum sendiri, sedang menghada­pi banyaknya pandangan pesimiskepada hukum. Pertama, hasil invasi china menunjukkan angka dratis diluarperkiaraan akal se­hat. Kedua, politik identitas terjun bebas ke dasar jurangkehancuran. Semakin hari semakin jauh dari esensi se­bagaimana sejarah berkatasoal partai politik. 

Ketiga, media tak ubahnya seperti layar lebar mempertonton­kancarut marut penegakan hukum terhadap kedudukan sosok individu yang katanya ataudikatakan menegakkan hukum. Kalimat selaras den­gan ketiga pandangan terse­but,kondisi ini adalah tidak ketemunya das sein dan das solen. Sederhananya antaraharapan dan kenyataan.

KAPITALISME VS SO­SIALISME? 

Menuju penegakan hu­kum seringkali tercium aroma politik yang berpo­tensi bisa merubah atau mewujudkankemudian berujung pada nasib masy­arakat. Dikarenakan adanya keputusan politikdiinternal hukum selalu diselimuti oleh ideologi, misalnya ka­pitalme vssosialisme, ke­mudian tertampilkannya pertarungan watak masy­arakat purba vsmodern. Pada konteks hukum, dalam percaturannya tampil seba­gai KapitalismeHukum dan Sosialisme Hukum. 

Watak masyarakat purba mem­berikan ruang penindasankepada masyarakat lemah sebagai representatif hu­kum rimba. Adagium homo hominilupus memberikan spirit mempertahankan ek­sistensinya. Siapa yang kuat akanmemangsa yang lemah mengedepankan individu­alistik dan egosentris. Bagi yangtidak dalam lingkaran keluarga, kepentingan atau kelompok perlahan tapi pastidan pasti pula berna­sib sama seperti yang lain.  

Bedanya dengan masya­rakatmodern lebih mema­hami realitas masyarakat yang beragam. Perkem­bangannya didukung oleh perkembangan ideologi kemudian masuk mem­pengaruhi hukum sehinggamelahirkan kebijaksanaan memandang segala situasi dalam sebuah frame ubi so­cietasibi ius.  

Kembali menjadi sebuah memoar,pada era globali­sasi telah kembalinya ma­syarakat purba. Saya me­maknaiglobalisasi telah membangkitkan kembali masyarakat purba berwajah masyarakatideologi. Alhasil, kecerdasan dan kekuasaan IPTEK memposisikan indi­vidumemenangi pertarun­gan dan sejahtera. Situasi ini juga kemudian mempenga­ruhihukum yang selalu dija­dikan alat menguasai segala bagian kehidupan, taktiknyatampil sebagai pemangku otoritas hukum. Maka wa­jar kemudian suara-suarajalanan mengatakan hukum selalunya dibuat atas dasar tawaran kaum asing atasmotif menanamkan kepen­tingan.  

Adil dan makmur sebagai konsepsicita - cita universal memanfaatkan berbagai lini sektor menumbuhke­mbangkanekonomi atas kendali hukum mengatur segala yang diperlukan dan dilakukan. Sayamelihat, pada pertengahan hingga akhir, tuntutan ekonomi yang semakin tinggisema­kin berpotensi mengalihkan masyarakat dari situasi di­luar konteks ekonomidan kehidupan. Pada titik kul­minasinya masyarakat lebih berfikir soalkesejahteraan individu dari pada kondisi hukum yang sadar atau tidak sadarmendominasi perta­rungan antara kapitalisme dan sosialisme.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline