Lihat ke Halaman Asli

Ketika Puting Berhenti Diberahikan

Diperbarui: 29 September 2016   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu ada kelompok minoritas yang menuntut adanya perubahan. Entah dalam skala kecil atau besar, kadang perubahan yang dituntut harus dipenjarakan kembali karena terlalu kontras dengan norma dan budaya setempat. Di Indonesia, konversi minyak tanah ke gas sudah dilakukan sejak 2007 lalu. Namun jumlah konsumsi minyak tanah sejak kurun waktu tersebut tetap tidak berubah meskipun jumlah konsumsi gas elpiji terus mengalami peningkatan. Jangankan kelompok minoritas, instansi sekelas pemerintah saja bisa gagal menciptakan perubahan.

Secara logis, masyarakat Indonesia masih berkenan untuk mencerna tujuan perubahan yang diharapkan pemerintah tersebut, meski sedikit bersinggungan dengan kebiasaan memasak menggunakan minyak tanah yang sudah membudaya. Tapi, apabila ide-ide yang diangkat dilabeli vulgar dan tidak senonoh, apakah kegagalan serupa akan terjadi kembali?

, Tahun 2014 lalu, sebuah film bertajuk ‘Free the Nipple’ mengalami masalah tayang di Amerika. Film tersbut mengangkat ide untuk membebaskan buah dada wanita dari predikat objek seksual melalui upaya penghapuskan kebijakan sensor media. Karena adanya masalah tayang, sutradara film memutuskan untuk menciptakan kampanye yang serupa dengan judul filmnya agar nilai yang diangkat tetap bisa disebarluaskan. Setelah kampanye dilangsungkan, dukungan pun mengalir deras dari pihak-pihak aktivis muda perempuan di berbagai belahan dunia.

Tidak hanya dukungan, caci dan hujat juga ikut mengalir. Terutama dari masyarakat egalitarian dunia (termasuk Indonesia) yang menilai gerakan tersebuat sebagai upaya terselubung untuk melegalkan pornografi. Berikut beberapa komentar mengenai gerakan ‘Free the Nipple’ yang saya kutip dari forum online terbesar di Indonesia;

“Ya, itulah calon2 kuat penghuni neraka. Entah otaknya sudah pindah di gunung kali ya. Jangan didukung kegiatan sesat seperti itu.”

“ Aneh aneh saja orang luar. Kalau diperkosa kan dia yang rugi.”

“ Makin gila saja dunia ini. Bukankah seharusnya wanita harus berbangga hati memiliki semua keindahan berharga yg diberikan Tuhan? Bukankah sesuatu yg berharga itu harus disimpan baik-baik agar jangan sampai orang lain tahu? Jika wanita ingin disetarakan dengan pria, bukankah itu artinya merendahkan diri mereka sendiri? Padahal wanita di mata pria adalah hal spesial yg harus diperlakukan berbeda dari setiap makhluk ciptaan Tuhan.”

“Jika kesetaraan gender yang diperjuangkan, kenapa harus dari aspek fisik?”

Hampir semua komentar menyatakan keberatannya. Bahkan dalam komentar terakhir yang saya sebutkan, penulisnya mempertanyakan langkah perjuangan kesetaraan gender yang dilakukan dengan mengangkat aspek fisik.. Banyak juga  yang menganggap bahwa gerakan tersebut justru akan meningkatkan jumlah korban pemerkosaan. Apa benar?

Saya bukan advokat gerakan tersebut, beragama, dan sama sekali tidak bermaksud untuk semakin menjorokkan hal-hal yang sifatnya tekstual menjadi seksual.

Tahun lalu, dunia maya ramai menjadikan foto-foto wanita Bali tempoe doloe sebagai bahan perbincangan. Dalam foto tersebut, terlihat para wanita sedang berdiri tegak sejajar tanpa penutup buah dada. Kritik terhadap budaya berpakaian tersebut terus bermunculan dan makin menguatkan stereotipe Bali sebagai “The Island of Breast”. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline