Lihat ke Halaman Asli

Tambang dan Kesejahteraan Rakyat

Diperbarui: 12 November 2016   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan Negara pertambangan dengan hasil tambang yang melimpah. Kegiatan pertambangan di Indonesia terdapat di berbagai tempat dan wilayah, di Papua terdapat tambang emas, Jawa Barat tambang panas bumi, Riau tambang minyak bumi, Sulawesi tambang nikel dan masih banyak pertambangan di daerah lainnya. 

Dari keempat pertambangan tersebut tidak satupun menjadi milik pemerintah Indonesia, semuanya merupakan milik perusahaan asing yang melakukan kegiatan produksi di Indonesia. Pemerintah tidak mempunyai kontrol terhadap kegiatan tersebut, peran pemerintah hanya sebatas mengeluarkan regulasi terkait kegiatan pertambangan yang dilakukan. Selain itu pemerintah juga mendapat royalti dari hasil penjualan barang tambang oleh perusahaan yang terkait.

Sebagai contohnya adalah PT.Freeport, yang sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar kedua versi gold.org ini, merupakan perusahaan asing yang kantor pusatnya di Amerika dan memiliki anak perusahaan yang beroperasi di Indonesia yaitu PT. Freeport Indonesia. PT. Freeport bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melalui kontrak karya yang telah disepakati pada tahun 1967 (kontrak pertama), dengan masa kontrak selama 30 tahun. 

Kesepakatan kontrak karya tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya kegiatan manajemen dan operasional yang diserahkan kepada penambang (PT.Freeport), PT. McMoRan Copper memegang saham sebesar 90,64 %, 9, 36 % diantaranya dipegang oleh PT.Indocopper Investama yang merupakan anak perusahaan, kemudian luas wilayah pertambangan telah disepakati seluas ± 1000 ha untuk diserahkan kepada PT.Freeport.  

Perusahaan pertambangan pemasok emas terbesar di pasar tahun 2009 ini, diperkirakan akan berakhir masa kontraknya pada tahun 2021, dengan opsi perpanjang 2 kali 10 tahun. Pada tahun 2009 hasil penjualan tambang emas diperoleh sebesar 53 triliun dengan laba 24,8 triliun, namun dari jumlah terbesar itu pemerintah hanya mendapat royalty sebesar 1% - 3,5% dari total laba. Kalau dihitung pemerintah Indonesia hanya mendapat ±868 juta dari 24,8 triliun, memang tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan yaitu berupa lokasi penambangannya.

Saya mengandaikan, kalau saja laba sebesar 24,8 triliun itu semua menjadi milik pemerintah Indonesia. Bukan tidak mungkin sebutan Negara gemah ripah loh jinawi yang katanya hanya mitos akan berubah menjadi fakta yang membenarkan bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya berkat kekayaan alamnya yang melimpah.

Saya memiliki sebutan baru tentang Indonesia apabila Indonesia mampu mengelola kekayaan alamnya dengan baik dan benar, “ Negara tambang untuk kehidupan ” saya kira sebutan ini cocok untuk Indonesia, tapi.. dengan catatan benar – benar bisa mengelola dengan baik. Pengelolaan yang baik tentunya dapat mengoptimalkan segalanya, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi. Produksi yang baik adalah produksi yang tidak adanya campur tangan pihak asing, efisien, dan sesuai dengan target di pasar, distribusi yang baik apabila semua masyarakat dapat merasakan hasilnya, sedangkan konsumsi yang baik perlunya campur tangan pihak asing dalam kegiatannya, sebagai asumsi bahwa komoditas bisa beredar di luar negeri (ekspor).

Dengan demikian indikator kesejahteraan Negara akan terpenuhi, yang berakibat meningkatnya indeks kebahagian hidup warga negarannya. Indeks tersebut meliputi pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, keseimbangan kerja, kehidupan kerja, kehidupan sosial, keamanan, jaringan sosial, dan kepuasan hidup. Dari beberapa indeks tersebut semuanya mengalami peningkatan.

Selain itu kesejahteraan suatu Negara tidak terlepas dari program – program kesejahteraan yang diterapkan di Negara tersebut. Sebagai contohnya Denmark dan Swedia yang dianggap berhasil dalam mensejahterakan warga negaranya, dengan program perlindungan sosial yang diterapkan di kedua Negara tersebut. 

Denmark dengan anggaran sebesar 28,93% yang dikeluarkan untuk pembiayaan program perlindungan sosial, berupa tunjangan yang diberikan kepada seluruh pensiunan di negaranya. Program ini telah berlangsung selama kurun waktu 3 tahun sejak tahun 2014 hingga sekarang. Kemudian Swedia melalui program asuransi kesehatan dengan anggaran sebesar 27,06 % yang dikeluarkan dari PDB negaranya. Dengan program tersebut seluruh warga Negara Swedia dapat merasakan asuransi kesehatan gratis secara cuma – cuma. Beraninya mengeluarkan anggaran besar untuk program – program perlindungan sosial yang diberikan secara gratis kepada warganya, tentunya haruslah diimbangi dengan pendapatan Negara yang besar dan keefektifan dalam menjalankan beberapa progam yang dijalankan.

Lalu bagaimanakah dengan Indonesia ? Apakah program – program kesejahteraan warganya sudah efektif, bagaimana dengan program perlindungan sosialnya ?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline